PERSAMAAN DAN PERBEDAAN FEMINISME DALAM NOVEL
PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN KARYA ABIDAH EL KHALIEQY DAN NOVEL MENITI JEMBATAN
EMAS KARYA YAN DARYONO
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
BAHASA INGGRIS
UNIVERSITAS PEKALONGAN
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Novel
merupakan sebuah karya sastra yang tidak dapat dibaca selesai dalam sekali
duduk, karena panjangnya sebuah novel secara khusus cukup untuk
mempermasalahkan karakter, peranan sosial tokoh dan pandangan hidup tokoh dalam
perjalanan waktu. Jadi, dalam perjalanan panjang inilah yang dapat
menggambarkan perjuangan seorang tokoh dalam menghadapi kehidupannya yang
penyajiannya secara panjang lebar. Oleh karena itu tidak mengherankan jika
posisi menusia dalam masyarakat menjadi pokok permasalahan yang selalu menarik
perhatian para novelis.
Sastra
bendingan adalah studi sastra bandingan secara totalitas, karena sastra
bandingan identik dengan sastra dunia, sastra umum atau sastra universal.
Pengkajian sastra bandingan pada dasarnya tidak harus terpaku pada karya-karya
klasik dari sastrawan yang terkenal, karena dalam kajian sastra bandingan tidak
jauh berbeda dengan kegiatan mengapresiasi suatu karya sastra.
Dari
sekian banyak negara di dunia yang memiliki karya sastra novel dengan motif
yang hampir sama baik dalam negara maupun dengan negara lain. Sebuah novel
dapat memiliki kemiripan antar novel yang lainnya, baik dalam unsur intrinsik
maupun unsur ekstrinsiknya. Namun, dalam karya sastra tersebut selain terdapat
kesamaan tentunya terdapat perbedaan di dalamnya. Kajian ini lebih menitik
beratkan pada kajian dalam satu negera, namun karya sastra yang digunakan dapat
dilihat dari kurun waktu yang berbeda.
Contoh
kajian kekerasan dalam novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu dan Sybil karya Flora
Rheta Schreiber yang membandingkan kekerasan yang dilakukan oleh ibunya dengan
motif yang berbeda. Dalam novel yang berjudul Nayla karya Djenar Maesa Ayu, berbicara mengenai sosok ibu yang
keras, kasar, dan kejam, yang mewujud pada penyisaan fisik dan mental Nayla.
Sedangkan, dalam novel yang berjudul Sybil
karya Flora Rheta Schreiber, berbicara menganai sosok ibu yang egois dan
melakukan kekerasan mental terhadap anaknya mulai dari kecil, yang hingga
akhirnya menyebabkan kelainan jiwa/psikologis anaknya, Sybil. Sosok ibu dalam
kedua novel tersebut sangat berperan terhadap pembentukan watak dan prilaku
menyimpang anak.
Melalui
kajian bandingan ini, penulis akan mengkaji persamaan dan perbedaan feminisme
dalam dua novel. Pengkajian ini dilakukan pada novel “Perempuan Berkalung Sorban” karya Abidah El Khalieqy dan novel “Meniti Jembatan Emas” karya Yan Daryono.
Perbandingan antar novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqy
dan novel Meniti Jembatan Emas karya Yan Daryono ini dapat dilihat dan dipahami
dengan mudah oleh pembaca.
1.2 Rumusan Masalah
Bila ditinjau dari judul di atas maka analisis ini lebih
difokuskan pada masalah berikut:
1.
Bagaimana feminisme yang terdapat
dalam novel “Perempuan Berkalung Sorban”
karya Abidah El Khalieqy?
2.
Bagaimana feminisme yang terdapat
dalam novel “Meniti Jembatan Emas”
karya Yan Daryono?
3.
Bagaimana persamaan dan perbedaan
feminisme yang terdapat dalam novel “Perempuan
Berkalung Sorban” karya Abidah El Khalieqy dan novel “Meniti Jembatan Emas” karya Yan Daryono?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari
penelitian ini, yaitu peneliti ingin deskripsikan:
1.
Feminisme yang terdapat dalam
novel “Perempuan Berkalung Sorban”
karya Abidah El Khalieqy.
2.
Feminisme yang terdapat dalam
novel “Meniti Jembatan Emas” karya
Yan Daryono.
3.
Persamaan dan perbedaan feminisme
yang terdapat dalam novel “Perempuan
Berkalung Sorban” karya Abidah El Khalieqy dan novel “Meniti Jembatan Emas” karya Yan Daryono.
1.4
Metodologi Penelitian
1.4.1 Metode Penelitian
Penelitian perbandingan ini menggunakan
metode deskriptif kualitatif. Sejalan
dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai yakni: Untuk mendeskripsikan persamaan dan perbedaan yang diungkap dalam novel “Perempuan
Berkalung Sorban” karya Abidah El Khalieqy dan novel “Meniti Jembatan Emas”
karya Yan Daryono dengan metode deskriptif kualitatif dimaksudkan untuk
memberikan gambaran (deskriptif) yang sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta yang ada.
Penggunaan
metode ini didasari pada beberapa alasan, antara lain: (1) feminisme liberal,
(2) feminisme radikal. Setelah diketahui feminisme dari kedua novel tersebut,
kita akan membandingkan dan mencari persamaan dan perbedaan dari kedua
feminisme tersebut.
1.4.2 Objek Penelitian
Objek
yang digunakan pada penelitian sastra ini adalah novel Perempuan Berkalung
Sorban karya Abidah El Kahlieqy dan novel Meniti Jembatan Emas karya Yan
Daryono.
1.4.3 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan
data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1.
Membaaca teks novel “Perempuan Berkalung Sorban” karya
Abidah El Khalieqy secara keseluruhan, mencatat bagian feminisme yang sesuai
dengan masalah;
2.
Membaaca teks novel “Meniti Jembatan Emas” karya Yan
Daryono secara keseluruhan, mencatat bagian feminisme yang sesuai dengan
masalah.
BAB
II
KAJIAN
TEORI
2.1 Pengertian Feminisme
Kata feminisme
dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopia, Charles Fourier pada
tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang
pasat sejak publikasi John Stuart Mill, the
subjection of women (1869). Perjuangan mereka menandai feminisme Gelombang
Pertama. Feminisme adalah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak dan
sederajat dengan pria.
2.2 Feminisme Liberal
Feminisme
liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan
secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan
berakar pada rasionalitas dan pemisahan antar dunia privat dan publik. Dengan
demikian, setiap manusia memiliki kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara
rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakangan
pada perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa
bersaing di dunia dalam kerangka “persaingan bebas” dan punya kedudukan sama
dengan laki-laki.
Tokoh aliran ini adalah Naom Wolf,
sebagai “Feminisme Kekuatan” yang merupakan solusi. Kini perempuan telah
mempunyai kekuatan dari segi pendidikan, pendapatan, dan perempuan harus terus
menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa
tergantung pada lelaki.
Feminisme liberal mengusahakan untuk
menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang
dilakukan perempuan di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak
produktif dan menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Budaya Amerika yang
materealistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat
mendukung keberhasilah feminisme. Perempuan-perempuan tergiring ke luar rumah
untuk berkarier dengan bebas dan tidak bergantung kepada laki-laki.
Akar teori ini bertumpu pada
kebebasan dan kesetaraan rasionalitas. Perempuan adalah makluk rasional,
kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga sehingga harus diberi hak yang
sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara
yang bias gender. Oleh karena itu pada abad 18 sering muncul tuntutan agar
perempuan mendapatkan pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya
memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20
organisasi-organisasi perempuan mulia dibentuk untuk menentang diskriminasi
seksual di bidang politik, sosial, ekonomi maupun personal.
2.3 Feminisme Radikal
Aliran
ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an dimana aliran ini menawarkan
ideologi “perjuangan saparatisme perempuan”. Pada sejarannya aliran ini muncul
sebagai reaksi atas kultur seksisme atau
dominasi sosial berdasarkan jenis kelamin di barat pada tahun 1960-an, utamanya
melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan
laki-laki terhadap perempuan adalah fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang
ada dan gerakan ini sesuai namanya yang “radikal”.
Aliran
ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat
patriarki, tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan
laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain
tubuh dan hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme). Seksisme
relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikatomi privat-publik “the persona
is pocitical” menjadi gagasan baru yang mampu menjangkau permasalahan perempuan
sampai ke ranah privat masalah yang dianggap paling tahu untuk diangkat
kepermukaan. Pandangan buruk banyak ditujukan kepada feminisme radikal
persoalan-persoalan privat inilah yang melahirkan Undang-Undang RI No. 23
tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUD KDRT).
BAB
III
PEMBAHASAN
Berdasarkan
ulasan pada latar belakang dan teori-teori, penelitian ini akan mengkaji
persamaan dan perbedaan feminisme yang terdapat dalam novel Perempuan Berkalung Sorban dan novel Meniti Jembatan Emas yang diperjuangkan
oleh tokoh Annisa dan Uwi (Dewi Sartika). Melalui analisis ini, maka peneliti
mencoba untuk mengungkapkan feminisme yang terdapat dalam kedua novel tersebut.
4.1 Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban
Novel
Perempuan Berkalung Sorban
menceritakan tentang perjuangan seorang perempuan untuk mensejajarkan perempuan
dengan laki-laki dalam kehidupan sosialnya yang berada dalam masyrakat
pesantren. Perjuangan ini dilakukan karena derajat perempuan dianggap lebih
rendah dari pada laki-laki. Melalui tokoh Anisa, ia memperjuangkan hak
perempuan dengan melawan keluarga dan kalangan pesantern dengan melakukan
protes-protes terhadap keluarga dan tokoh ulama mengenai hak-hak perempuan.
Selain itu perjuangan yang dilakukan oleh tokoh Annisa, yaitu pembelaan
terhadap pemilikan tubuh dan hak-hak reproduksi perempuan merupakan tumpuan
eksplorasinya. Sisi kehidupan Annisa yang mengalami kekerasan dalam kehidupan
rumah tangganya. Lewat novel ini pengarang ingin berpesan kepada kaumnya
melalui tokoh Annisa, “tubuhmu adalah milikmu, tak seorangpun yang boleh
menguasainya, juga lelaki pasangan hidupmu”.
Feminisme
liberal yang terdapat dalam novel Perempuan
Berkalung Sorban yang menimpa Annisa yang berhubungan dengan kesejajaran
seorang perempuan dengan laki-laki dalam hal pendidikan mendapat larangan dari
keluarganya. Kemudian perlakuan yang tidak adil dalam keluarga juga dirasakan
oleh tokoh Annisa. Larangan yang menimpa Annisa ini yang membuatnya menjadi
begejolak karena antara pandangan keluarga dan pandangan Annisa sendiri
berbeda. Pandangan yang didapatkan oleh Aninsa didapatkan dari luar lingkungan
pesantren dimana ia tinggal. Feminisme liberal yang menimpa tokoh Annisa dapat
dilihat dalam cuplikan novel berikut:
“Ow. . . ow. .
.ow. . . jadi begitu. Apa ibu belum mengatakan padamu kalau naik kuda hanya
pantas dipelajari oleh kakakmu Rizal, atau kakakmu Wildan. Kau tahu, mengapa?
Sebab kau ini anak perempuan, Nisa. Nggak pantas, anak perempuan kok naik kuda,
pencilakan, apalagi keluyuran
mengelilingi ladang, sampai ke blumbang segala. Memalukan!” (Abidah, 2009 : 7)
“Eh, Nisa. Orang
pemalas itu tidak perlu dicemburui. Lagi pula Nisa kan perempuan. Perempuan itu
memiliki kewajiban untuk belajar mengurusi rumah tangga. Itu semua baik untuk
masa depan, Nisa.” (Abidah, 2009 : 21)
“Tetapi anak
perempuan kan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Sudah cukup jika telah mengaji
dan khatam. Sudah ikut sorogan kuning.” (Abidah, 2009 : 90)
Kutipan
novel di atas menunjukkan feminisme liberal yang menimpa Annisa dengan mendapatkan
perlakuan dari keluarga yang tidak sama karena Annisa seorang perempuan
sehingga dibedakan dengan kakak-kakaknya yang laki-laki. Hal itu terjadi karena
keluarga tokoh Annisa mempunyai panadangan tentang perempuan dari sudut
kaidah-kaidah islam yang mengatakan bahwa derajat seorang perempuan di bawah
laki-laki. Selain itu, perlakuan dalam mendapatkan hak pendidikan juga dibatasi
oleh keluarga.
Feminisme
radikal yang menimpa Annisa tidak dapat dilakukan begitu saja. Hak-hak keadilah
rumah tangga yang berkaitan dengan poligami yang dilakukan Samsuddin malah
memberikan dampak kesengsaraan bagi Annisa. Orang yang berpoligami harus
mendapatkan keadilan antara istri yang satu dengan istri yang lainya. Dalam hal
ini sedikitpun Annisa tidak mendapatkan keadilan tersebut, melainkan
mendapatkan kesengsaraan lahir dan batin.
Feminisme
radikal yang ditonjolkan dalam novel Perempuan
Berkalung Sorban ini menimpa tokoh utama Annisa yang tidak mampu melawan
penindasan yang berkenaan dengan tubuh dalam seksualitas. Feminisme radikal
yang menimpa tokoh Annisa dapat dilihat dalam cuplikan novel berikut:
“Dalam keadaan
seperti itu, kelelakian Samsudin semakin menjadi, lalu menggigit bahu dan
leherku seperti layaknya drakula. Bahkan ia juga memilih sesukanya
bagian-bagian mana dari tubuhku untuk dicengkeram. Dicakar-cakar semaunya,
seakan aku ini kambing kurban yang sedang berada ditangan seorang penjagal.” (Abidah,
2009 : 102)
“Ia mencabut
gigi taringnya dari tubuhku, seperti harimau lapar tengah berhadapan dengan
mangsanya. Lalu menggeram untuk kemudian menekan kuat-kuat wajahku di atas
bantal sambil mengeluarkan sumpah serapan tujuh turunan dan kata-kata makian
yang diambil dari kamus kebun binatang. Setelah menampar, mencekik dan
menjambak rambutku dengan penuh kebiadapan, setelah melihat tenagaku lemas dan
berdaya.” (Abidah, 2009 : 103)
“Setelah aku
pikir-pikir, bicara juga aku kepada Samsudin. Agar ia membagi uang belanja
secara adil sebagaimana sunnahnya berpoligami. Ia bilang akan menunjukkan
keadilan pada suatu saat.” (Abidah, 2009 : 118)
“Dan inilah
saatnya. Aku baru pulang dari sekolah ketika kudapati dua makhluk berlainan
jenis itu sedang bergumal di atas karpet warna merah tua.” (Abidah, 2009 : 118)
“Lihatlah,
Annisa, bagaimana caranya main di taman sorga. Lihatlah kami! Dan kau boleh
bergabung jika mau.” (Abidah, 2009 : 118)
Kutipan di atas jelas bagaiman
penderitaan tokoh utama Annisa dalam menghadapi kemelud rumah tangganya yang
didatangkan oleh suaminya. Kesengsaraan yang dideritanya bukan hanya fisik
tetapi juga batinnya.
“Seorang
laki-laki memiliki kewajiban dan seorang perempuan juga memilki kewajiban.
Kewajiban seorang laki-laki, yang terutama adalah bekerja mencari nafkah, baik
di kantor, di sawah, di laut, atau dimana saja asalkan mendatangkan rezeki yang
halal. Sedangkan seorang perempuan juga memiliki kewajiban, yang terutama
adalah mengurus urusan rumah tangga dan mendidik anak. Jadi memasak, mencuci,
mengepel, menyetrika, menyapu dan merapikan seluruh rumah adalah kewajiban
seorang perempuan. Demikian juga memandikan anak, menyuapi, menggantikan popok
dan menyusui itu juga kewajiban seorang perempuan.” (Abidah, 2009 : 12)
Kutipan
novel di atas merupakan feminisme yang menggambarkan pembagian kerja dan
interaksi sosial sehari-hari. Agenda tersembunyi dari sistem sosial itu adalah
memberi kekuasaan laki-laki melebihi perempuan. Penggambaran ini merupakan
feminisme radikal yang memperjuangkan hak perempuan agar tidak hanya sebagai
ibu rumah tangga yang hanya mengurus anak dan membersihkan rumah sehingga
dianggap pekerjaan perempuan dipandang sebagai pekerjaan tidak terampil yang
hanya membutuhkan tubuh, bukan pikiran rasional.
4.2 Feminisme Dalam Novel Meniti Jembatan Emas
Novel
Meniti Jembatan Emas menceritakan
tentang perjuangan seorang perempuan dalam mendapatkan haknya dalam memperoleh
pendidikan pada zaman penjajahan Belanda. Perjuangan yang dilakukan oleh Uwi
untuk mensejajarkan haknya dalam memperoleh pendidikan, mendapatkan berbagai
rintangan yang harus dilaluinya pada masa penjajahan tersebut. Perjuangan yang
dilakukan oleh Uwi dengan membuka sekolah untuk perempuan sehingga perempuan
bisa percaya diri dan tidak direndahkan oleh laki-laki dan melelui pendidikan
perempuan tidak tergantung lagi dengan laki-laki. Perjuangan memperoleh hak
pendidikan, hak berperan membentuk kepribadian dan kemandirian bangsanya serta
hak-hak lainnya yang sesuai azas kemanusian yang diperjuang tokoh Uwi dalam
Novel ini. Banyak halangan yang harus dilalui Uwi dalam memperoleh pendidikan
ksususnya untuk kaum perempuan ini, antara lain larangan dari kaum bumi putera
sendiri yang merasa dari maum menak yang takut disejajarkan dengan kaum buruh,
dan dari para pejabat pemerintah yang memnjajah kaum bumi putera yang takut
mempengaruhi kaum jajahannya untuk melawannya.
Feminisme
liberal yang ditonjolkan dalam novel Meniti
Jembatan Emas lebih mengarah pada perjuangan seorang perempuan dalam
memperluas kesempatan dalam pendidikan agar derajat perempuan tidak tertindas.
Perjuangan tersebut dapat dilihat melalui kutipan berikut:
“Uwi melihat
pejabat bumi putera baru keluar dari beranda rumah diiringi jongos pembawa payung bertangkai panjang
yang meneduhi pejabat itu. Tak jauh di belakang, muncul pula istri sang pejabat
bumi putera berjalan mengikuti suaminya diiring beberapa abdi dalem perempuan. Melihat pemandangan itu Uwi menjadi muram dan
menarik nafas panjang. Ah, alangkah lemahnya kedudukan perempuan dalam kehidupan
masyarakat bumi putera. Tidak boleh berjalan seiring suami dan harus berada di
belakang” (Yan Daryono, 2008 : 21)
“Dan perlu tuan
Inspektur ketahui, bagi orang Sunda, menyekolahkan anak perempuannya sama
artinya melakukan perbuatan tabu.” (Yan Daryono, 2008 : 39)
“Mestinya kalian
tau, Uwi menyelenggarkan sekolah itu karena rasa cinta kepada bangsanya. Ia
merasakan betapa rendahnya derajat perempuan bumi putera diperlakukan kaum pria
yang menyebut dirinya sebagai kaum terhormat.” (Yan Daryono, 2008 : 70)
Kutipan
novel di atas merupakan feminisme liberal yang sedang dihadapi masyarakat bumi
putera pada masa penjajahan Balanda. Kutipan tersebut tergambar jelas bagaimana
rendahnya derajat perempuan dihadapan laki-laki. Melihat kenyataan tersebut Uwi
melakukan perjuangan untuk kaum perempuan dengan membuka sebuah sekolah dengan
nama Sakola Keutamaan Istri dengan siswa hanya para perempaun bumi putera.
Dengan membuka sekolah itu Uwi bertujuan agar banyak perempuan bumi putera yang
prigel yang bisa baca tulis dan
berhitung. Para perempuan yang memilki rasa percaya diri, menyadari kehormatan
dan harga dirinya sebagai perempuan bumi putera. Kaum perempuan yang tidak
berjalan di belakang suaminya, tetapi justru melangkah berdampingan dengan
suaminya. Dalam pendirian sekolah ini Uwi mengalami berbagai rintanga dari
masyrakat menak yang tidak suka dengan sekolah Uwi alasan menak tidak suka
karena mereka takut apabila sekolah Uwi berkembang maka antara kaum menak
(bangsawan) akan disejajarkan dengan kaum bawahan (petani, nelayan dll). Selian
rintangan dari para menak Uwi juga menghadapi masalah yang paling berat yaitu
harus mengahadapi gubernemen, yaitu pemerintahan yang memerintah rakyat bumi
putera (rakyat Indonesia).
Perjuangan
yang dilakukan oleh Uwi berhasil dilakukan dengan mendapatkan hak-hap perempuan
dalam pendidikan yang mendapatkan izin dari gubernemen walau sekolah yang
dididrikan hanya untuk kaum perempuan. Kemudian Uwi juga berhasil mendapatkan
izin dari gubernemen dengan membelajarkan bahasa Belanda dan bahasa Inggris di
Sakola Kautamaan Istri yang dibilang jajahan Belanda. Dari hasil perjuangannya
ini Dewi Sartika mendapatkan penghargaan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional
dalam menentang kaum penjajah demi mendapatkan hak seorang perempuan.
4.3 Persamaan Dan Perbedaan Feminisme Dalam Novel
Perempuan Berkalung Sorban Dan Meniti Jembatan Emas
Tabel
Korpus Data
Tabel
3:1 Persamaan Feminisme Liberal
Korpus Data
|
Novel Perempuan Berkalung Sorban
|
Novel Meniti Jembatan Emas
|
KD1
|
“Ow.
. . ow. . .ow. . . jadi begitu. Apa ibu belum mengatakan padamu kalau naik
kuda hanya pantas dipelajari oleh kakakmu Rizal, atau kakakmu Wildan. Kau
tahu, mengapa? Sebab kau ini anak perempuan, Nisa. Nggak pantas, anak
perempuan kok naik kuda, pencilakan,
apalagi keluyuran mengelilingi ladang, sampai ke blumbang segala. Memalukan!”
(Abidah, 2009 : 7)
|
“Uwi
melihat pejabat bumi putera baru keluar dari beranda rumah diiringi jongos pembawa payung bertangkai
panjang yang meneduhi pejabat itu. Tak jauh di belakang, muncul pula istri
sang pejabat bumi putera berjalan mengikuti suaminya diiring beberapa abdi dalem perempuan. Melihat
pemandangan itu Uwi menjadi muram dan menarik nafas panjang. Ah, alangkah
lemahnya kedudukan perempuan dalam kehidupan masyarakat bumi putera. Tidak
boleh berjalan seiring suami dan harus berada di belakang” (Yan Daryono, 2008
: 21)
|
KD2
|
“Eh,
Nisa. Orang pemalas itu tidak perlu dicemburui. Lagi pula Nisa kan perempuan.
Perempuan itu memiliki kewajiban untuk belajar mengurusi rumah tangga. Itu
semua baik untuk masa depan, Nisa.” (Abidah, 2009 : 21)
|
“Dan
perlu tuan Inspektur ketahui, bagi orang Sunda, menyekolahkan anak
perempuannya sama artinya melakukan perbuatan tabu.” (Yan Daryono, 2008 : 39)
|
KD3
|
“Tetapi
anak perempuan kan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Sudah cukup jika telah
mengaji dan khatam. Sudah ikut sorogan kuning.” (Abidah, 2009 : 90)
|
“Mestinya
kalian tau, Uwi menyelenggarkan sekolah itu karena rasa cinta kepada
bangsanya. Ia merasakan betapa rendahnya derajat perempuan bumi putera
diperlakukan kaum pria yang menyebut dirinya sebagai kaum terhormat.” (Yan
Daryono, 2008 : 70)
|
Tabel
3:2 Perbedaan Feminisme Radikal
Korpus Data
|
Novel Perempuan Berkalung Sorban
|
Novel Meniti Jembatan Emas
|
KD1
|
“Dalam
keadaan seperti itu, kelelakian Samsudin semakin menjadi, lalu menggigit bahu
dan leherku seperti layaknya drakula. Bahkan ia juga memilih sesukanya
bagian-bagian mana dari tubuhku untuk dicengkeram. Dicakar-cakar semaunya,
seakan aku ini kambing kurban yang sedang berada ditangan seorang penjagal.”
(Abidah, 2009 : 102)
|
Tidak
ada
|
KD2
|
“Ia
mencabut gigi taringnya dari tubuhku, seperti harimau lapar tengah berhadapan
dengan mangsanya. Lalu menggeram untuk kemudian menekan kuat-kuat wajahku di
atas bantal sambil mengeluarkan sumpah serapan tujuh turunan dan kata-kata
makian yang diambil dari kamus kebun binatang. Setelah menampar, mencekik dan
menjambak rambutku dengan penuh kebiadapan, setelah melihat tenagaku lemas
dan berdaya.” (Abidah, 2009 : 103)
|
Tidak ada
|
KD3
|
“Setelah
aku pikir-pikir, bicara juga aku kepada Samsudin. Agar ia membagi uang
belanja secara adil sebagaimana sunnahnya berpoligami. Ia bilang akan
menunjukkan keadilan pada suatu saat.” (Abidah, 2009 : 118)
|
Tidak ada
|
KD4
|
“Dan
inilah saatnya. Aku baru pulang dari sekolah ketika kudapati dua makhluk
berlainan jenis itu sedang bergumal di atas karpet warna merah tua.”
Lihatlah, Annisa, bagaimana caranya main di taman sorga. Lihatlah kami! Dan
kau boleh bergabung jika mau.” (Abidah, 2009 : 118)
|
Tidak ada
|
KD5
|
“Plak! Plaakk!!
Ia menampar mukaku bertubi-tubi hingga
pipi dan pundakku lebam kebiru-biruan. Untuk kali pertama, kucakar wajahnya
dan ia membanting badanku ke lantai.” (Abidah, 2009 : 131)
|
Tidak ada
|
BAB
IV
PENUTUP
5.1 Simpulan
Setelah melakukan analisis pada
kedua novel Perempuan Berkalung Sorban
dan Meniti Jembatan Ema, maka dapat
disimpulkan bahwa dalam novel Perempuan
Berkalung Sorban, memiliki persamaan dan perbedaan dalam feminisme dalam
novel tersebut. Persamaan feminisme pada kedua novel tersebut, yaitu sama-sama
membahas masalah perjuangan yang dilakukan tokoh perempuan (Annisa dan Uwi)
dalam memperjuangkan hak persamaan derajat dengan laki-laki. Persamaan dalam
keduan novel tersebut dapat dilihat dari perjuangan kedua tokoh perempuan ini
dalam memperoleh haknya dalam mendapatkan pendidikan yang termasuk ke dalam
feminisme liberal. Perbedaan yang
dapat disimpulkan dari hasil analis ini, yaitu dalam novel Perempuan Berkalung Sorban lebih ditonjolakan mengenai feminisme
radikal dengan melakukan penindasan pada tubuh perempaun sebagai objeknya.
Sedangkan pada novel Meniti Jembatan Emas
hanya menceritakan masalah perjuangan seorang perempuan dalam memperoleh
hak pendidikan yang hanya membahas masalah feminisme liberal saja.
5.2 Saran
Sesuai
dengan pemaparan di atas penelitian ini lebih memfokuskan pada feminisme, yaitu
feminisme liberal dan radikal. Pembahasan yang telah dilakuakan oleh peneliti mungkin
masih dianggap kurang sempurna sehingga peneliti mengharapkan saran dan kritik
yang dapat membangun sehingga lebih baik. Bagi peneliti selanjutnya peneliti
mengharapkan agar melakukan penelitian mengenai feminisme yang belum dibahas
dalam penelitian ini, sehingga pembahasan mengenai feminisme lebih lengkap pada
kedua novel ini. Bagi instansi sekolah semoga hasil peneliatian ini dapat
dijadiakan acuan dalam pembelajaran dalam bidang sastra khususnya dalam sastra
bandingan.
Daftar Pustaka
Daryono, Yan.
2008. Meniti Jembatan Emas. Bandung:
PT Grafitri Budi Utami.
El Khalieqy,
Abidah. 2009. Perempuan Berkalung Sorban.
Yogyakarta: Arti Bumi Intara.
Evi
Kartika, Wulandari. 2008. Skripsi Citraan
Perempuan Dalam Novel Perempuan Kembang Jepun Karya Lan Fang. Universitas
Kanjuruhan Malang.
http://sulhamudin.info/2006/01/berkenalan-dengan-post-strukturalisme-dan-post-modernisme/
Saraswati,
Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra Sebuah
Pemahaman Awal. Malang: Bayu Media dan UMM Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar