FILSAFAT ILMU SEBAGAI LANDASAN PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu
Dosen pengampu : Dr. Maufur
Disusun Oleh :
Nama : BAGUS SUGIARTO
NPM : 0630069811
Kelas : PBI 6 C
BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PEKALONGAN
2014
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kami sehingga makalah ini selesai tanpa ada halangan sesuatu apapun. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Filsafat Ilmu”
Dalam proses pendalaman materi makalah ini, tentunya kami mendapatkan bimbingan, arahan dan saran, untuk itu rasa terima kasih yang dalam-dalamnya kami sampaikan kepada :
1. Bapak dan Ibu tercinta yang telah mencurahkan kasih sayangnya. Sungguh segala darma baktiku tidak layak disejajarkan dengan ketulusan hati Bapak dan Ibu.
2. Dosen pengampu bapak Dr. Maufur.
3. Teman-teman di kampus Universitas Pancasakti Tegal terimakasih atas saran dan diskusinya.
4. Sahabat-sahabat saya, yang telah memberi semangat disetiap langkahku.
Semoga Allah SWT membalas amal perbuatan kita semua dan mengampuni dosa-dosa yang sudah kita perbuat. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kritik konstruktif dari semua pihak sangat kami harapkan.
Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat.
Tegal, 20 Desember 2012
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………i
KATA PENGANTAR………………………………………………………………….ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………...iii
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………………………...1
A. Latar Belakang…………………………………………………………………..1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………….1
C. Tujuan Penulisan………………………………………………………………...1
BAB II. PEMBAHASAN..................…………………………………………………..2
A. Filsafat Ilmu……………………………………………………………………..2
B. Pengertian Ilmu Pengetahuan…………………………………………………....8
C. Peran Filsafat Ilmu sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Pengetahuan……....9
BAB III. PENUTUP……………………………………………………………….…...12
A. Kesimpulan………………………………………………………………….......12
B. Saran……………………………………………………………………….…....12
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dikemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982).
Untuk mengatasi keterpecahan antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel kant (dalam kunto Wibisono dkk., 1997) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis bacon (dalam The Liang Gie, 1999) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian filsafat ilmu?
2. Apa pengertian ilmu pengetahuan?
3. Bagaimana peran filsafat ilmu sebagai landasan perkembangan ilmu pengetahuan?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu.
2. Menjelaskan dan mendeskripsikan pengertian filsafat ilmu.
3. Mendeskripsikan pengertian ilmu pengetahuan.
4. Menjelaskan peran filsafat ilmu sebagai landasan perkembangan ilmu pengetahuan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Filsafat Ilmu
1. Pengertian Filsafat
Secara etimologis filsafat berasal dari bahasa Yunani “Philosophia”, yang terdiri dari dua kata, philis/ philos yang berarti cinta dalam arti luas, dan sophos/ Sophia yang berarti kebenaran, kebijaksanaan, pengertian yang mendalam. Dengan demikian filsafat sering diterjemahkan dengan “Cinta Kebijaksanaan”. Hal itu berarti, bila kita berfilsafat, maka ada keinginan untuk memperoleh kebijaksanaan atau untuk menjadi bijaksana.
Menurut sejarah kelahiran istilahnya, filsafat terwujud sebagai sikap yang ditauladankan oleh Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan yang mendorong pikiran seseorang untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak menyerah kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya untuk mendapatkan kebenaran (Soeparmo, 1984).
Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada tahap awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam. Dalam perkembangan lebih lanjut, karena persoalan manusia makin kompleks, maka tidak semuanya dapat dijawab oleh filsafat secara memuaskan. Jawaban yang diperoleh menurut Koento Wibisono dkk. (1997), dengan melakukan refleksi yaitu berpikir tentang pikirannya sendiri. Dengan demikian, tidak semua persoalan itu harus persoalan filsafat.
Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang filsafat yang telah dikemukakan oleh para filsuf. Diantaranya sebagai berikut :
a. Merriam-Webster (dalam Soeparmo, 1984)
Secara harafiah filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Maksud sebenarnya adalah pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika dan teori pengetahuan.
b. Menurut Pythagoras (582 – 500 SM)
Pythagoras adalah seorang filfus dan ahli di bidang matematika. Dia menyatakan bahwa orang yang memiliki nilai paling tinggi adalah orang yang bijaksana, setelah ia melakukan perenungan yang mendalam tentang dirinya dan mengenai Tuhan sebagai causa prima.
c. Plato (427 – 348 SM)
Menurutnya filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran hakiki.
d. Aristoteles (382 - 322 SM)
Mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung dalam metafisika, logika, retorika, etika, politik, dan estetika.
e. Al Farabi (870 – 950 M)
Menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud, yaitu bagaimana hakikat yang sebenarnya.
f. Hasbullah Bakry (1971)
Menyatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai keTuhanan, alam semesta, dan manusia.
g. Poedjawijatna (1974)
Merumuskan sebagai pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasar pikiran belaka.
Dari beberapa definisi tersebut sementara dapat di simpulkan bahwa, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari segala sesuatu dengan mengandalkan pikiran (logis) dan tidak bersifat empiric, yang dicerna adalah makna, bukan fakta.
2. Pengertian Filsafat Ilmu
Beberapa pengertian filsafat ilmu menurut para ahli, diantaranya :
a. Lewis White Beck
Menurutnya “Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole”. Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
b. A. Cornelius Benyamin
Menurutnya “That philosopic disipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual disciplines”.Filsafat ilmu adalah studi sistematik mengenai sifat dan hakikat ilmu, khususnya yang berkenaan dendan metodenya, konsepnya, kedudukannya di dalam skema umum disiplin intelektual.
c. May Brodbeck
Menurutnya “Philosophy of science is the ethically and philosophically neutral analysis, description, and clarifications of science”. Filsafat ilmu sebagai nalisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
d. The Liang Gie
Filsafat ilmu merupakan segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi kehidupan manusia.
e. Jujun S. Wirasumantri
Menurutnya filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemology (filsafat pengetahuan) yang secara khusus mengkaji hakikat ilmu yang memiliki ciri-ciri tertentu.
f. Michael V. Berry
“The study of the inner logic if scientific theories, and the relations between experiment and theory, i.e. of scientific methods”. Filsafat ilmu merupakan penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.
g. Peter Caws
Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan.
h. Stephen R. Toulmin
Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbincangan, metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisika.
Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa, filsafat ilmu merupakan studi gabungan yang terdiri dari beberapa studi yang beraneka ragam ditujukan untuk menetapkan batas yang tegas mengenai ilmu tertentu. Filsafat ilmu itu mengandung konsepsi dasar yang mencakup hal-hal sebagai berikut:
1) sikap kritis dan evaluatif terhadap kriteria-kriteria ilmiah
2) sikap sitematis berpangkal pada metode ilmiah
3) sikap analisis obyektif, etis dan falsafi atas landasan ilmiah
4) sikap konsisten dalam bangunan teori serta tindakan ilmiah
3. Tujuan Filsafat Ilmu
a. Mendalami unsur-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh kita dapat memahami sumber, hakikat, dan tujuan ilmu.
b. Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan ilmu dalam berbagai bidang, sehingga memperoleh gambaran tentang proses ilmu kontemporer secara historis.
c. Menemukan berbagai persoalan yang bersifat ilmiah maupun non ilmiah.
d. Memberikan dorongan kepada ilmuwan dan calon ilmuwan agar konsisten guna mendalami suatu ilmu dan mengembangkannya.
e. Menegaskan bahwa persoalan sumber dan tujuan ilmu yang satu dengan yang lainnya, termasuk agama, tidak ada pertentangan.
4. Manfaat Mempelajari Filsafat Ilmu
· Semakin kritis dalam sikap ilmiah dan aktivitas ilmu/keilmuan.
· Menambah pemahaman yang utuh mengenai ilmu dan mampu menggunakan pengetahuan tersebut sebagai landasan dalam proses pembelajaran dan penelitian ilmiah.
· Memecahkan masalah dan menganalisis berbagai hal yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi.
· Tidak terjebak dalam bahaya arogansi intelektual
· Merefleksikan, menguji, mengkritik asumsi dan metode ilmu terus-menerus sehingga ilmuwan tetap bermain dalam koridor yang benar (metode dan struktur ilmu)
· Mempertanggungjawabkan metode keilmuan secara logis-rasional
· Memecahkan masalah keilmuan secara cerdas dan valid
· Berpikir sintetis-aplikatif (lintas ilmu-kontesktual)
5. Obyek Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu mempunyai dua obyek, yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek material filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yakni ilmu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu dan dapat dipertanggung jawabkan.
Sedangkan obyek formal filsafat ilmu adalah esensi ilmu pengetahuan yang mencakup apa hakikat ilmu itu sesungguhnya, cara memperoleh kebenaran ilmiah, fungsi ilmu bagi manusia sebagai landasan ontology, epistemology, dan aksiologis.
6. Pendekatan dalam Filsafat Ilmu
Dalam filsafat ilmu ada beberapa pendekatan agar filsafat ilmu dapat mencakup materi yang sahih atau valid. Pendekatan-pendekatan itu diantaranya adalah positivistik, fenomenologi, rasionalistik, dan realisme metafisik.
Pendekatan positivistik membangun suatu teori berdasarkan relevan atau tidaknya sesuatu dengan yang lainnya. Pendekatan fenomenologi membangun suatu teori secara berkembang berkelanjutan dari empirinyang lebih luas. Pendekatan rasionalistik berusaha menyusun struktur konsep yang berupa hipotetik. Dan pendekatan realisme metafisik membangun teori dari identifikasi gejala-gejala yang dicari dari struktur besarnya dan ditampilkan sebagai teori deduktif.
7. Fungsi, Arah, dan Tugas Filsafat Ilmu
Fungsi filsafat ilmu adalah memberikan landasan filosofis untuk memahami berbagai konsep dan teori suatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan membangun teori ilmiah. Arahnya ke pembekalan berbagai wawasan utama yang hingga kini tumbuh dominan memperluas wawasan, keterbukaan, dan saling memahami alur fikiran ilmiah yang berbeda-beda.
Sedangkan tugas filsafat ilmu adalah menguraikan penerapan dan akibat yang lebih luas dan ilmu. Selain itu juga menjelaskan perbedaan penelitian ilmiah dengan non ilmiah, prosedur penelitian ilmiah, persyaratan ilmiah, kedudukan mengenai prinsip-prinsip dan hokum-hukum keilmuan.
8. Problema dalam Filsafat Ilmu
a. Problema epistemology tentang ilmu
b. Problema metafisis tentang ilmu
c. Problema metodologi tentang ilmu
d. Problema logis tentang ilmu
e. Problema etis tentang ilmu
f. Problema estetis tentang ilmu
9. Perkembangan Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu telah lahir sejak abad ke 18 , yaitu sejak Immanuel Kant menyatakan bahwa filsafat telah menunjukkan batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara akurat, sehingga menarik perhatian. Awal lahirnya di Eropadisebut sebagai filsafat pengetahuan, dengan iri khas positifisme.
Pada tahun 1960, filsafat dengan ciri khas positifisme bergeser setelah muncul postpositivisme, dan selanjutnya postmodernisme. Memahami filsafat ilmu berarti memahami seluk beluk ilmu pengetahuan hingga segi-segi dan sendi-sendi yang paling dasar, untuk dipahami pula perspektif ilmu, kemungkinan perkembangannya, keterjalinan antar ilmu yang satu dengan yang lainnya.
B. Pengertian Ilmu Pengetahuan
1. Pengetahuan
Menurut Amsal Bachtiar (2005), pengetahuan merupakan hasil proses dsri usaha manusia untuk tahu. Sedangakan dalam kamus filsafat menyebutkan, pengetahuan merupakan proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri.
Pengetahuan adalah sesuatu atau semua yang diketahui dan dipahami oleh pikiran atau hati kita setelah melalui proses pengindraan maupun lainnya, baik diperoleh secara sengaja maupun tidak. Segala pengalaman yang dapat kita pahami, maka menjadi pengetahuan kita
Secara tingkatan pengetahuan dapat dijabarkan sebagai berikut :
a) Pengetahuan teoritis, yaitu pengetahuan tentang informasi tertentu, hanya berupa data dan informasi saja dan belum mendalam.
b) Pengetahuan praktis, yaitu berkaitan dengan ketrampilan atau keahlian dan kemahiran teknis dalam melakukan sesuatu yang mendasarkan pada pedoman yang telah ada.
c) Pengetahuan mengenai sesuatu, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman atau pengenalan pribadi.
d) Pengetahuan ilmiah, yaitu yang berkaitan dengan mengapa atau suatu pertanyaan.
Dilihat dari jenisnya, pengetahuan dapat dibagi menjadi empat, yaitu pengetahuan non ilmiah, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafati, dan pengetahuan agama.
2. Ilmu Pengetahuan
Ilmu merupakan sebagian dari pengetahuan yang memiliki dan memenuhi persyaratan tertentu. Ilmu tentu merupakan pengetahuan, tetapi pengetahuan belum tentu ilmu.
Ilmu pengetahuan diambil dari kata bahasa Inggris science dan dalam bahasa latin disebut scientia yang berarti mempelajari atau mengetahui. The Liang Gie (1987) mendefinisikan ilmu pengetahuan sebagai rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaan secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai segi dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejalayang ingin dimenggerti manusia.
C. Peran Filsafat Ilmu sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Pendekatan filsafat ilmu mempunyai implikasi pada sistematika pengetahuan sehingga memerlukan prosedur, harus memenuhi aspek metodologi, bersifat teknis dan normatif akademik. Pada kenyataannya filsafat ilmu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, perkembangannya seiring dengan pemikiran tertinggi yang dicapai manusia. Oleh karena itu filsafat sains modern yang ada sekarang merupakan output perkembangan filsafat ilmu terkini yang telah dihasilkan oleh pemikiran manusia.
Filsafat ilmu dalam perkembangannya dipengaruhi oleh pemikiran yang dipakai dalam membangun ilmu pengetahuan. Tokoh pemikir dalam filsafat ilmu yang telah mempengaruhi pemikiran sains modern yaitu Rene Descartes (aliran rasionalitas) (Herman 1999) dan John Locke (aliran empirikal) (Ash-Shadr 1995) yang telah meletakkan dasar rasionalitas dan empirisme pada proses berpikir. Kemampuan rasional dalam proses berpikir dipergunakan sebagai alat penggali empiris sehingga terselenggara proses “create” ilmu pengetahuan (Hidajat 1984a). Akumulasi penelaahan empiris dengan menggunakan rasionalitas yang dikemas melalui metodologi diharapkan dapat menghasilkan dan memperkuat ilmu pengetahuan menjadi semakin rasional. Akan tetapi, salah satu kelemahan dalam cara berpikir ilmiah adalah justru terletak pada penafsiran cara berpikir ilmiah sebagai cara berpikir rasional, sehingga dalam pandangan yang dangkal akan mengalami kesukaran membedakan pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan yang rasional. Oleh sebab itu, hakikat berpikir rasional sebenarnya merupakan sebagian dari berpikir ilmiah sehingga kecenderungan berpikir rasional ini menyebabkan ketidakmampuan menghasilkan jawaban yang dapat dipercaya secara keilmuan melainkan berhenti pada hipotesis yang merupakan jawaban sementara. Kalau sebelumnya terdapat kecenderungan berpikir secara rasional, maka dengan meningkatnya intensitas penelitian maka kecenderungan berpikir rasional ini akan beralih pada kecenderungan berpikir secara empiris. Dengan demikian penggabungan cara berpikir rasional dan cara berpikir empiris yang selanjutnya dipakai dalam penelitian ilmiah hakikatnya merupakan implementasi dari metode ilmiah (Jujun 1990).
Berdasarkan terminologi, empiris mempunyai pengertian sesuatu yang berdasarkan pemerhatian atau eksperimen, bukan teori (Kamus Dewan 1994: 336) atau sesuatu yang berdasarkan pengalaman (terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, pengamatan yang telah dilakukan) (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1995:262). Dengan demikian sesuatu yang empiris itu sangat tergantung kepada fakta (sesuatu yang benar dan dapat dibuktikan), hanya saja fakta yang dibuktikan melalui penginderaan dalam dunia nyata bukanlah fakta yang sudah sempurna telah diamati, melainkan penafsiran dari sebagian pengamatan. Terjadinya sebagian pengamatan pada fakta disebabkan oleh pengamatan manusia yang tidak sempurna sehingga mengakibatkan semua penafsiran manusia mengandung penambahan yang mungkin berubah dengan berubahnya pengamatan (Khan 1983). Rasional mempunyai pengertian sesuatu yang berdasarkan taakulan, menurut pertimbangan atau pikiran yang wajar, waras (Kamus Dewan 1994: 1107) atau sesuatu yang dihasilkan menurut pikiran dan timbangan yang logis, menurut pikiran yang sehat, cocok dengan akal, menurut rasio, menurut nisbah (patut) (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1995:820).
Dengan demikian rasionalitas mencakup dua sumber pengetahuan, yaitu; pertama, penginderaan (sensasi) dan kedua, sifat alami (fitrah) (Ash-Shadr 1995: 29). Implikasi dari sensasi dan fitrah di atas bisa berpengaruh pada bentuk pemahaman rasional sebagai pandangan yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak hanya didapatkan dari proses penginderaan saja, karena proses penginderaan hanya merupakan upaya memahami empirikal. Sementara, pemahaman rasional mengandung makna bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan pengetahuan-pengetahuan yang tidak muncul dari hasil penginderaan saja.
Kematangan berpikir ilmiah sangat ditentukan oleh kematangan berpikir rasional dan berpikir empiris yang didasarkan pada fakta (objektif), karena kematangan itu mempunyai dampak pada kualitas ilmu pengetahuan. Sehingga jika berpikir ilmiah tidak dilandasi oleh rasionalisme, empirisme dan objektivitas maka berpikir itu tidak dapat dikatakan suatu proses berpikir ilmiah. Karena itu sesuatu yang memiliki citra rasional, empiris dan objektif dalam ilmu pengetahuan dipandang menjamin kebenarannya, dengan demikian rasionalisme, empirisme dan objektivitas merupakan dogma dalam ilmu pengetahuan (Hidajat 1984b). Dogma yaitu kepercayaan atau sistem kepercayaan yang dianggap benar dan seharusnya dapat diterima oleh orang ramai tanpa sebarang pertikaian atau pokok ajaran yang harus diterima sebagai hal yang benar dan baik, tidak boleh dibantah dan diragukan.
Paradigma ialah lingkungan atau batasan pemikiran pada sesuatu masa yang dipengaruhi oleh pengalaman, pengetahuan, kemahiran, dan kesadaran yang ada atau model dalam ilmu pengetahuan, kerangka berpikir (Kamus Dewan 1994: 311 & 978) dan (Kamus Umum Bahasa Indonesia 1995: 239 & 729).
Dari terminologi di atas dogma dan paradigma sebenarnya mempunyai kaitan makna, karena paradigma merupakan kata lain dari paradogma atau dogma primer. Dogma primer ialah prinsip dasar dan landasan aksiom yang kadar kebenarannya sudah tidak dipertanyakan lagi, karena sudah self evident atau benar dengan sendirinya (Hidajat 1984a). Akibatnya dari kebutuhan terhadap adanya paradigma dalam membangun ilmu pengetahuan (sains) membawa dampak pada kebutuhan adanya rasionalisme, empirisme dan objektivitas. Artinya, apabila pengetahuan yang dibangun dan dikembangkan tidak memenuhi aspek rasional, empirikal dan objektif maka kebenaran pengetahuannya perlu dipertanyakan lagi atau tidak mempunyai kesahihan. Oleh karena itu membangun ilmu pengetahuan diperlukan konsistensi yang terus berpegang pada paradigma yang membentuknya. Kearifan memperbaiki paradigma ilmu pengetahuan nampaknya sangat diperlukan agar ilmu pengetahuan seiring dengan tantangan zaman, karena ilmu pengetahuan tidak hidup dengan dirinya sendiri, tetapi harus mempunyai manfaat kepada kehidupan dunia.
Kita tidak bisa mengatakan ilmu pengetahuan dapat berkembang oleh dirinya sendiri, jika kita memilih berpikir seperti itu maka sebenarnya kita telah berupaya memperlebar jurang ketidakmampuan ilmu pengetahuan menjawab permasalahan kehidupan. Hal ini perlu dipahami secara bijak karena permasalahan kehidupan saat ini sudah mencapai pada suatu keadaan yang kritis, yaitu krisis yang kompleks dan multidimensi (intlektual, moral dan spiritual) yang berdampak pada seluruh aspek kehidupan (Capra 1999). Dengan demikian jika kita mempertanyakan penyesuaian apa yang dapat dilakukan ilmu pengetahuan dengan kenyataan kehidupan (realitas), maka perubahan paradigma ilmu pengetahuan merupakan jawaban untuk mengatasi krisis yang cukup serius (Kuhn 1970).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari makalah yang telah disusun dapat disimpulkan bahwa filsafat ilmu merupakan studi gabungan yang terdiri dari beberapa studi yang beraneka ragam ditujukan untuk menetapkan batas yang tegas mengenai ilmu tertentu. Filsafat ilmu dalam perkembangannya dipengaruhi oleh pemikiran yang dipakai dalam membangun ilmu pengetahuan.
B. Saran
Dalam mengembangkan ilmu pengetahuan harus dilandasi dengan filsafat ilmu. Karena dengan filsafat ilmu, kita dapat membangun untuk mengembangkan ilmu pengetahuan itu.
DAFTAR PUSTAKA
Maufur. 2012. Filsafat Ilmu. Jabar : CV. Bintang WarliArtika