Senin, 30 Desember 2013

Analisis Puisi “Ku lihat Ada Tuhan Dimatanya

Analisis Puisi “Ku lihat Ada Tuhan Dimatanya[1]
Oleh Friedrich Falah[2]
Wahai waktu, kejenuhan abadi mulai membutakanku. Sains, Filsafat, dan Agama ialah suatu jalan api yang harus dianjing babi. Biarlah nanti aku menuju ko eksistensi sunyi. Dimana aku harus mati bersama pengendalian diri.Aku hanya ingin Tuhan yang menari-nari dihati idaman hati[3].”
Analisis Semiotika
Sebuah karya sastra dalam bentuk apapun tidak akan terlepas dari latar belakang[4] si penulis, baik karya maupun keadaan penulis secara psikologis dan sosio-culturalnya.Perkembangan sastra sekarang ini sangat pesat dan keluar dari kaidah-kaidah penulisan yang ada.Banyak hal-hal yang baru yang muncul dan tidak sesuai dengan konvensi-konvensi.Sastra kontemporer Indonesia lebih cenderung di pengaruhi oleh sastra Barat atau Eropa.
Karakteritas yang sangat menonjol pada karya sastra kontemporer ini adalah karyanya yang sangat non – konvensional sehingga hal ini menjadi suatu mengapa dalam karya sastra ini cenderung kurang diminati oleh para pembaca pada umumnya. Ciri atau karakteritas sastra kontemporer atau sering disebut dengan sastra Avant Garde ini yaitu sastra yang sudah jelas penokohannya atau dan karakter tokoh.
Teori struktural[5] dan semiotik[6] dewasa ini merupakan salah satu teori sastra yang terbaru disamping teori estetika resepsi dan dekonstruksi.Akan tetapi, teori ini belum banyak dimanfaatkandalam bidang kritik sastra di Indonesia.
Dalam tulisan ini, saya mencoba menganalisis puisi[7] karya Alin Imani yang berjudul “Ku Lihat Ada Tuhan Dimatanya” yang akan dianlisias secara struktural semiotik.
Menganalisis puisi ini bertujuan untuk memahami maknanya.Ini merupakan sebuah usaha menangkap dan memberi makna kepada teks puisi.Karya sastra merupakan struktur yang bermakna dan system tanda yang memiliki makna, yang menggunakan medium bahasa.Di sinilah merupakan ssistem semiotic yang mempunyai arti medium.
Teori yang digunakan dalam analisis tulisan ini menggunakan teori menurut Riffaterre[8]. Langkah-langkah dalam memahami sebuah teks dalam hal ini puisi menurut Michael Riffaterre ada 4, yaitu:
  1. Pembaca harus menemukan kata kunci atau matriks yang terdapat dalam sebuah sajak atau teks.
  2. Pembaca juga harus melakukan pembacaan secara heuristik, yaitu sesuai dengan kompetensi bahasa dan struktur kebahasaannya.
  3. Seorang pembaca dituntut untuk melakukan pembacaan hermeneutik yaitu pembacaan pada tingkat makna.
  4. Seorang pembaca harus menemukan hubungan intertekstualitas antara karya sastra tersebut. Seorang pembaca harus mencari sumber teks atau yang lazim disebut hipogram dan harus mencari model dan varian.
Pilihan Kata
Kata-kata di dalam puisi adalah kata-kata yang sama sekali berbeda dengan teks dalam bentuk yang lain. Kata-kata dalam puisi memiliki peran sangat esensial karena ia tidak saja harus mampu menyampaikan gagasan, tetapi juga dituntut untuk mampu menggambarkan imaji sang penyair dan memberikan impresi ke dalam diri pembacanya, karena itu kata-kata dalam puisi lebih mengutamakan intuisi, imajinasi, dan sintesis. Pilihan kata yang tedadap dalam puisi “Ku Lihat Tuhan Dimatanya” karya Alin Imani :

Kulihat Ada Tuhan di Matanya
Semua tak pernah berubah hingga kau berbicara kepadaku
Di sudut senja yang dingin di halaman itu
Kita berbicara kepada embun, matahari yang hampir tenggelam dan pepohonan yang mulai merunduk
Cerita dahulu, tentang Ayah dan Ibu
Lalu tentang kami, anak yang dahulu diimpi-impikan itu
Lalu tentang hari ini saat semua begitu kelabu dan jauh

Sampai. Kulihat ada tuhan di matanya

Dan sejenak, kucium senja dan berdo’a
Agar ia terus diberi kekuatan itu
Kami
Kita
Semua
Untuk terus berbuat baik
Layaknya tuhan yang telah memberikan nafasnya kepada kita yang tak tahu terima kasih ini.
Bahasa Kiasan[9]
Pilihan kata yang digunakan seorang Alin Imani sangat indah, karena kata-kata yang digunakan menggunakan kata-kata yang mudah dipahami.Kesesuaian antara kalimat hampir menyerupai Aforisma[10].

Repetisi[11]
Dalam sajak terdapat dalam: kami, kita, senja,

Simile atau Persamaan[12]
Dalam sajak terdapat dalam:
Dan sejenak, kucium senja dan berdo’a
Agar ia terus diberi kekuatan itu
Kami
Kita
Semua
Untuk terus berbuat baik
Layaknya tuhan yang telah memberikan nafasnya kepada kita yang tak tahu terima kasih ini.

Pesonifikasi[13]
Dalam sajak terdapa dalam: Kita berbicara kepada embun, matahari yang hampir tenggelam dan pepohonan yang mulai merunduk
Citraan[14]
Dalam puisi “Ku Lihat Tuhan Dimatanya” citraan yang digunakan misalnya yaitu citraan penglihatan tedapat dalam”Sampai. Kulihat ada tuhan di matanya”, dan lain-lain.
Sarana Retorika
Sarana retorik pada dasarnya merupakantipu muslihat pikiran yang mempergunakan susunan bahasa yang khas sehingga pendengar merasa dituntut untuk berpikir. Dalam menyampaikan sebuah ide atau gagasan Chairil Anwar cenderung pada aliran Romantisme dan Realisme.
Analisis Semiotik Terhadap Isi[15]
Dalam Puisi ”Kulihat Tuhan Dimatanya” karya Alin Imani merupakan ungkapan perasaan yang dirasakan oleh penyair. Puisi itu dapat dianalisis sebagai berikut: si aku merasakan hal yang tidak berubah, sampai sampai “Ia” berbicara kepadanya. Si aku mengharapkan kejadian masa lalu yang diingatnya kembali, dan menjadi pedoman untuk masa depan.
Si aku berbicara kepada apapun yang ada dalam kenyataan ini, baik makrokosmos maupun mikrokosmos tentang ayah dan ibunya. Selain dari pada itu, Si Aku mengeneralisir bahwa semua orang sama, tidak bisa berterima kasih kepada Tuhan.

Analisis Heumeneutik[16]
Hermaneutika berkembang dalam penafsiran sastra sangat berhubungan dengan perkembangan pemikiran hermeneutika, terutama dapat dijumpai dalam beberapa buku yang berkembang dalam sejarah filsafat dan teori. Hal ini disebabkan karena pemikiran ini mula-mula tumbuh di dalam dua kajian tersebut. Untuk memahaminya dan penafsiran sastra, tak dinafikan memang perlu pemahaman yang cukup mendalam mengenai hermenetika dan perkembangnnya.[17] Yang jelas, dengan pemahaman tiga varian hermeneutika tersebut, niscaya akan lebih memungkinkan adanya pemahaman yang memadai tentang hermeneutika dalam sastra[18].
Perlu pula disebut seorang tokoh bernama Paul Rocoeur. Ia adalah seorang tokoh setelah Gadamer yang dalam perkembangan mutakhir banyak mengembangkan hermeneutika dalam bidang sastra dan meneruskan pemikiran filosofi fenomenologis. Menariknya, dalam hermeneutika fenomenologis, ia menyatakan bahwa setiap pertanyaan yang dipertanyakan yang berkenaan dengan teks yang akan diinterpretasi adalah sebuah pertanyaan tentang arti dan makna teks[19]. Arti dan makna teks itu diperoleh dari upaya pencarian dalam teks berdasarkan bentuk, sejarah, pengalaman membaca, dan self-reflection dari pelaku interpretasi.
Seperti pengharapan yang terdapat pada puisi berikut :
Semua tak pernah berubah hingga kau berbicara kepadaku
Di sudut senja yang dingin di halaman itu
Kita berbicara kepada embun, matahari yang hampir tenggelam dan pepohonan yang mulai merunduk
Cerita dahulu, tentang Ayah dan Ibu
Lalu tentang kami, anak yang dahulu diimpi-impikan itu
Lalu tentang hari ini saat semua begitu kelabu dan jauh

Sampai. Kulihat ada tuhan di matanya

Dan sejenak, kucium senja dan berdo’a
Agar ia terus diberi kekuatan itu
Kami
Kita
Semua
Untuk terus berbuat baik
Layaknya tuhan yang telah memberikan nafasnya kepada kita yang tak tahu terima kasih ini.
Pengarah merasakan tawa lama. Tidak ada dunia yang tak pernah abadi dihidupnya, kecuali “Kau?” bercerita kepada pengarang. Mereka selalu berbincang prihal orang tuanya. Entah bagaimana dan sedang bagaimana ia menulis puisi ini. Yang pasti, dengan gambaran seperti ini, saya bisa menjelaskan ia sedang duduk, memandang keluar, dan mengingat sesuatu, yang mungkin bahagia untuk dirinya sendiri. “Ia melihat tuhan di matanya”, dimana dia merasakan “Nya?” telah berhasil meyerah cahaya Tuhan, dan dimanpestasikan pada prilaku “Nya?” yang diberikan kepada penulis. Dalam kasih rindu dan sayang semesta, ia cium dan ia meminta kepada Tuhan, agar mereka diberi kekuatan untuk berbuat baik dan amat mencintai “Sang Baik” yang telah memberikan kekuatan keapada mereka.
“Cinta Kepada Sang Baik[20]” dan “Sang Baik, Cinta, dan Kebahagiaan”. Orang itu baik apabila ia dikuasai oleh akal budi, buruk apabila ia dikuasai oleh keinginan dan hawa nafsu. Karena selama kita dikuasai oleh nafsu dan emosi, kita dikuasai oleh sesuatu yang diluar dirinya. Itu berarti, kita tidak teratur, kita ditarik ke sana ke mari, dan menjadi kacau balau.
Melalui akal budi, kita menyesuaikan diri dengan keselarasan alam semesta, dengan alam idea-idea. Akal budi ialah pandangan tentang itu. Kita sendiri menjadi tertata. Apabila kita sudah tertata terhadap alam idea, kita ikut dalam keterarahan alam idea sendiri. Seperti alam indrawi terarah kepada alam idea-idea, begitu pula alam idea-idea terarah kepada idea tertinggi. Idea tertinggi ialah sang baik. Sang baik adalah dasar segala-galanya. Segala sesuatu tertuju kepadanya, tertarik olehnya. Manusia yang baik pada dasarnya adalah manusia yang seluruhnya terarah kepada sang baik. Sang baik adalah dasar segala-galanya. Suatu hal yang amat hebat, Tuhan ada dimatanya.

Analisis Dalam Kacamata Filsafat Perspektifisme Friedrich Nietzsche[21]
Jika engkau haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan, maka percayalah. Dan apabila engkau ingin (menjadi) murid kebenaran, maka carilah”. – Friedrich Nietzsche
Sesungguhnya, manusialah yang telah menetapkan baik dan buruk bagi dirinya sendiri. Sesungguhnya mereka tidak mengambilnya dari manapun atau menemukanya secara kebetulan; baik dan buruk itu bukanlah suara langit yang datang pada mereka”-Friedrich Nietzsce_Sabda Zarathrustra Bagian Pertama Aforisme 15 tentang Seribu Satu Tujuan.
Manusia senantiasa percaya bahwa ada sesuatu kekuatan hebat yang berada di luar dirinya. Padahal kekuatan itu adalah sebuah dugaan, dan yang paling kita lupakan ialah bahwa, “Yang kita ketahui bukanlah Tuhannya, tapi “Tentang Tuhannya”. Sebuah jembatan pada tulisan ini, saya mengutip sebuah lagu :
Where did we come from?
Why are we here?
Where do we go when we die?
What lies beyond
And what lay before?
Is anything certain in life?
[22]
Apabila sesuatu yang ada diluar diri kita ternyata itu hanya seekor semut yang disembah oleh kita selama ini, apa yang ada di hati kita? Kecewakah? Bahagiakah? Mungkin secara akal sehat kita akan berfikir, mana mungkin seekor semut bisa menciptakan alam semesta ini beserta isinya? Saya akan jawab, bisa saja, ada sesuatu yang menciptakan semut yang kita sembah itu bisa menciptakan semua ini.
Seperti halnya puisi berikut :
Semua tak pernah berubah hingga kau berbicara kepadaku
Di sudut senja yang dingin di halaman itu
Kita berbicara kepada embun, matahari yang hampir tenggelam dan pepohonan yang mulai merunduk
Cerita dahulu, tentang Ayah dan Ibu
Lalu tentang kami, anak yang dahulu diimpi-impikan itu
Lalu tentang hari ini saat semua begitu kelabu dan jauh

Sampai. Kulihat ada tuhan di matanya

Dan sejenak, kucium senja dan berdo’a
Agar ia terus diberi kekuatan itu
Kami
Kita
Semua
Untuk terus berbuat baik
Layaknya tuhan yang telah memberikan nafasnya kepada kita yang tak tahu terima kasih ini.

Kalimat ini, :
Semua tak pernah berubah hingga kau berbicara kepadaku
Di sudut senja yang dingin di halaman itu
Kita berbicara kepada embun, matahari yang hampir tenggelam dan pepohonan yang mulai merunduk

Pengarang berbicara dengan apa yang ada disekelilingnya. Menganggap semuanya mempunyai jiwa yang sama dalam satu raga. Sebagaimana Zarathustra berseru_Setangkai Pohon Di Pegunungan :

Zarathustra melihat seorang anak muda menghindarinya. Dan tatkala ia sedang berjalan sendirian di suatu malam melalui bebukitan di sekeliling kota yang bernama Lembu Belang, perhatikan! ia mendapatkan anak muda ini bersandar ke pohon dan memandang letih ke lembah. Lalu Zarathustra memegang pohon di sisi mana anak muda itu duduk, dan berseru demikian:

„Jika aku ingin mengguncangkan pohon ini dengan lenganku, tentu aku tidak bisa, tetapi angin, yang tidak bisa kita lihat, akan menyiksanya dan membengkokkan ke arah mana saja yang dia inginkan.
Lengan-lengan yang tidak kelihatanlah yang menyiksa dan membengkokkan kita!‟ Lalu anak muda ini berdiri kebingungan dan berkata:
„Aku mendengar Zarathustra dan aku baru saja aku memikirkannya!‟
Zarathustra menjawab: „Mengapa kau takut akan ini? – Tetapi manusia dan pohon adalah serupa, dan memiliki jiwa yang sama.
Bertambah kemauannya untuk naik ke ketinggian dan ke cahaya, bertambah semangat akar-akarnya menembus ke dalam tanah, ke bawah, ke gelap, ke kedalaman-kedalaman – ke dalam kejahatan.‟
„Ya, ke dalam kejahatan!‟ teriak anak muda ini.
„Bagaimana mungkin kau membuka jiwaku?‟ Zarathustra tersenyum, dan berkata:
„Ada banyak jiwa yang tidak seorang pun akan pernah bisa buka, kecuali seseorang membuat-buatnya terlebih dahulu.‟ „Ya, ke dalam kejahatan!‟ teriak anak muda itu sekali lagi.
Pada kalimat selanjutnya :
Sampai. Kulihat ada tuhan di matanya
Pengarah telah menemukan tuhan di dalam mata seseorang. Benarlah bahwa tiada sesuatu yang berada di luar dirinya, hanya ada diri atau raga ini. Nietzsche berkata, “Ragaku adalah samudra, dan jiwa-jiwa adalah sungai yang mengalir di samudra tersebut.[23]” Secara tidak langsung, pengarah telah menemukan manusia super pada diri “Nya?” itu. Manusia yang mempu melampaui, manusia yang mampu membunuh dan menjadi Tuhan. Dan apakah Tuhan itu? Tuhan adalah sebuah dugaan. Sebagaimana Zarathustra berseru_Dalam Prolog Also Sprach Zarathustra :
Tatkala Zarathustra tiba di kota terdekat di seberang hutan itu, ia mendapatkan di tempat itu banyak manusia berkumpul di alun-alun pasar: karena telah dicanangkan bahwa si akrobat peniti tali akan beratraksi. Dan Zarathustra lalu berseru ke rakyat:
 Aku ajarkan kau akan Superman. Manusia adalah sesuatu yang musti diatasi. Apa yang telah kau kerjakan untuk mengatasi manusia?
Segala mahluk hidup hingga kini telah menciptakan sesuatu melebihi diri mereka: lalu kau mau menjadi air surut dari air pasang besar, dan kembali ke dunia binatang daripada mengatasi manusia?
Apa kera itu bagi para manusia? Bahan tertawaan atau aib memalukan. Begitu pula manusia bagi Superman: bahan tertawaan, sesuatu yang memalukan.
Kau telah membuat diri kau dari ulat menjadi manusia, dan banyak di dalam diri kau tetap saja serupa ulat. Sekala kau adalah kera, bahkan hingga kini pun manusia lebih menyerupi kera daripada kera-kera lain.
Bahkan ia yang paling bijaksana di antara kau pun, ia hanyalah ketidak harmonisan dan hibrida antara tumbuh-tumbuhan dan hantu. Tetapi apa aku tawarkan kau untuk menjadi hantu-hantu dan tumbuh-tumbuhan?

Kalimat ini :
Dan sejenak, kucium senja dan berdo’a
Agar ia terus diberi kekuatan itu
Kami
Kita
Semua
Untuk terus berbuat baik
Layaknya tuhan yang telah memberikan nafasnya kepada kita yang tak tahu terima kasih ini.

Pada kalimat ini saya akan sandingkan dengan Zarathustra, dan menurut saya ini cocok. Seruan Zarathustra :
Zarathustra pernah pula menebarkan lamunan sesatnya melebihi kemanusiaan, seperti semua para manusia dunia-kemudian.
 Lalu tampaknya dunia bagiku seperti ciptaan Tuhan yang sengsara dan tersiksa. Lalu tampaknya dunia ini bagiku seperti mimpinya – dan bualannya –
Tuhan; warna menguap di hadapan mata Tuhan yang sangat tidak puas. Kebaikan dan kejahatan, suka dan duka dan aku dan kau – aku pikir semua itu uap warna di hadapan mata sang pencipta.
Sang pencipta mengharap untuk membuang muka dari dirinya sendiri, lalu ia menciptakan dunia. Suka cita yang memabukan bagi yang sengsara untuk membuang muka dari sengsaranya, untuk melupakan dirinya. Suka cita yang memabukan dan pelupaan diri – ini apa yang sekala aku pikir dunia itu.
Dunia ini, yang tidak sempurna abadi, citra yang tidak sempurna dari satu kontradiksi yang abadi – satu suka cita yang memabukan bagi sang pencipta yang tidak sempurna – ini apa yang aku pikir dunia ini sekala.
Dan analisis yang membingungkan dalam bentuk aforisma ini akan saya tutup dengan slogan Nietzsche :
“Obat yang paling baik untuk menyembuhkan cinta adalah obat yang telah diketahui sepanjang zaman: membalas cinta.”

NB : jangan melihat analisis dalam filsafat perspektifisme dengan kaca mata Strukturalisme. Apa kalian paham?


Daftar Pustaka
Anonim.2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Abidin, Zainal. 2002. Kamus Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Budianta, Melani. 1993. Teori Kesusastraan.(Wellek, Rene dan Austin Werren). Jakarta: Gramedia.
_____, Jawa Baru, (1 Januari 2603/1943) Jakarta.
Eneste, Pamasuk. 1982. Leksikon Kesustraan Indonesia Modren. Jakarta: Gramedia.
____, 1986.Tema Cerita Pendek Indonesia Tahun 1950 – 1960. Jakarta: PPPB. Greibstein, Sheldom Norman (peyt). 1968. Pecspectives in Contemporary Criticiasm (A Collection of Precent Essays by American, English and Evredean Literar).
Hudson, William Henry. 1963. An Introduction to The Study of Literary. London: George G. Harrap 7 Co.Ltd. Kebudayaan Timur, (no. 7, 1944). Jakarta.
Rosidi, Ajib. 1969. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta.
Pradopo, Rahmat Djoko. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Pradopo,Rachmat Djoko. Pengkajian Puisi. Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2009.
Sayuti.Suminto A. Perkenalan dengan Puisi. Yogyakarta:Gama Media, 2002.
Wachid BS, Abdul. Analisis Struktural Semiotik. Yogyakarta : Cinta Buku, 2009.
Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2009. Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Surakarta: Cakra Books Solo
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo, Rachmad Djoko. 2008. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sastrowardoyo, Subagio. 1982. Daerah Perbatasan. Jakarta: Balai Pustaka
Poespoprodjo,Hermeneutika, Penerbit Pustaka Setia, Bandung, 2004.8.
Palmer, E. Richard. Hermeneutika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.9.
Ritzer, George & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, Kreasi Wacana,Yogyakarta,2008,1.
Ricouer,Pau,Hermeneutika Ilmu Sosial, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2008.11. Rahardja,Mudjia, Dasar-Dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme danGadamerian , Arr-Ruzz MediaGroup,Yogyakarta, 2008.12.
Sumaryono,Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat , Penerbit Kanisius,Yogyakarta, 1999..13. West,
Richard & Lynn H. Turner, Teori Komunikasi, Analisis Dan Aplikasi, Salemba Humanika, Jakarta, 2009

Referensi  tambahan :
  1. Danririsbastind.wordpress.com
  2. www.scribd.com
  3. Bebasmelangkah25.Wordpress.com (Blog saya, Friedrich Falah).


[1]. Puisi ini karya Alin Imani Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris UIN Sunan gunung Djati Bandung.Disajikan di sebuah diskusi SASAKA.Jumat 16 Maret 2012.
[2]. Seorang mahasiswa yang difitnah jurusan Tafsir Hadits semester 6. Aktif di UKM Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman/LPIK, Lembaga Penelitian Ausiensi Sisa Pengerasan Baja, dan Lembaga Pengkajian Tafsir dan Hadits. Tak lupa, saya sering numpang tidur di UKM SUAKA, dan diajarkan oleh sastrawan. Mereka adalah Fazar Fauzan (Mbah NU), Miko Alonso (Presiden Persis dan Homo Sapien tertua di SUAKA), Hamdi Sign (ABG Gak Jadi, yang mengajarkan saya “Apa arti Cinta?”), dan Galah Dewana (Sang Imajinalis Genial, walaupun sama seperti saya, jomblo selalu). Tak lupa Nirra Si Koboi yang sedang mendalami Nietzsche. Pesanku, “Selamat berpetualang, dan jangan lupa kembali”. Nanti juga kamu akan menemukan “Tuhan Yang Menari-nari”.
[3]. Aforisma ini saya tulis sewaktu saya hijrah dari keyakinan dan kepercayaan saya sendiri.
[4]. Maksud saya, aliran yang mempengaruhi pemikiran seorang penulis dalam menghasilkan karyanya.Disadari atau tidak disadari pengaruhnya dapat dilihat dari karyanya tersebut. Dalam beberapa buku yangsayabaca, ada beberapa aliran sastra. Yaitu, (1) Aliran Realisme : aliran dalam kesusastraan yang melukiskan suatu keadaan atau kenyataan secara real, atau sesungguhnya. Aliran ini berusaha memperlihatkan kenyataan secara jujur dan objektif. Aliran realisme ini muncul pada abad 18, dan berkembang pada abad 19, dan awal abad 20.Tokoh aliran ini ialah Gustave Flaubert dari Prancis.(2) Aliran Impresionisme : Suatu aliran yang menganggap bahwa persastraan sesuai dengan apa yang dilihat. (3) Aliran Naturalisme : Suatu aliran yang  cendrung melukiskan kenyataan-kenyataan yang buruk. Tokohnya ialah Honore De Balzac. (4) Aliran Ekspresionisme : Sebuah aliran yang lebih menggunakan perasaan dan bergejolak jiwa pengarangnya. (5). Aliran Romantisme : Sebuah aliran yang mengutamakan perasaan. Aliran ini muncul sebagai respon terhadap aliran rasionalisme yang menyatakan bahwa semua rahasia alam bisa dijamah dan diterangkan oleh akal manusia. (6). Aliran Simbolisme : sebuah aliran yang menekankan pada symbol atau lambing dalam karya sastra mereka, terutama puisi. Tokoh aliran ini ialah Faul Varlaine.
[5]. Struktural dalam sajak atau karya sasatra yang menganggap bahwa sebuah karya sastra adalah sebuah struktur. Struktur di sini dalam arti bahwa karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem,yang di antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik,saling menentukan. Jadi, kesatuan unsur-unsur dalam sastra bukan hanya berupa kumpulan-kumpulan atau tumpukan hal-hal atau benda-benda yang berdiri sendiri-sendiri,melainkan hal-hal itu saling berkaitan,saling terikat,dan saling bergantung.
[6]. Studi sastra bersifat semiotik merupakan usaha untuk menganalisis karya sastra, di sini sajak khususnya, sebagai suatu sistem tanda-tanda dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna. Dengan melihat variasi-variasi di dalam struktur sajak atau hubungan dalam (internal) antara unsur-unsurnya akan dihasilkan bermacam-macam makna.Semiotik seperti yang diungkapkan oleh Rachmat Djoko Pradopo yaitu bahwa bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan,yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti. Medium karya sastra bukanlah bahan yang bebas (netral) seperti bunyi pada seni musik ataupun warna pada lukisan.Warna cat sebelum digunakan dalam lukisan masih bersifat netral, belum mempunyai arti apa-apa sedangkan kata-kata (bahasa) sebelum dipergunakan dalam karya sastra sudah merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian masyarakat (bahasa) atau ditentukan oleh konvensi-konvensi masyarakat.Lambang-lambang atau tanda-tanda kebahasaan itu berupa satuan-satuan bunyi yang mempunyai arti oleh konvensi masyarakat.Bahasa itu merupakan sistem ketandaan yang berdasarkan atau ditentukan oleh konvensi (perjanjian) masyarakat.Sistem ketandaan itu disebut dengan semiotik.Begitu pula ilmu yang mempelajari sistem tanda-tandaiti disebut semiotika.
[7]. Struktur dan ragam puisi sebagai hasil karya kreatif terus-menerus berubah. Hal ini nampak apabila kita mengkaji ciri-ciri puisi pada zaman tertentu yang ternyata berbeda dari ke-khas-an puisi pada zaman yang lain. Di masa lampau misalnya, penciptaan puisi harus memenuhi ketentuan jumlah baris, ketentuan rima dan persyaratan lain. Itulah sebabnya Wirjosoedarmo mendefinisikan puisi sebagai karangan terikat. Definisi tersebut tentu saja tidak tepat lagi untuk masa sekarang karena saat ini penyair sudah lebih bebas dan tidak harus tunduk pada persyaratan-persyaratan tertentu. Hal ini mengakibatkan pembaca tidak dapat lagi membedakan antara puisi dengan prosa hanya dengan melihat bentuk visualnya.
[8]. Teks atau puisi menurut Michael Riffaterre adalah pemikiran yang dibakukan melalui mediasi bahasa. Dalam semiotik,Riffaterre memperlakukan semua kata menjadi tanda.
[9]. Bahasa kiasan merupakan alat yang dipergunakan penyair untuk mencpai aspek kepuitisan atau sebuah kata yang mempunyai arti secara konotatif tidak secara sebenarnya.Dalam penulisan sebuah sajak bahasa kiasan ini digunakan untuk memperindah tampilan atau bentuk muka dari sebuah sajak.Bahasa kiasan dipergunakan untukmemperindah sajak-sajak yang ditulis seorang penyair.
[10]. Suatu kata yang memiliki makna. Antara Kalimat atau bait yang satu dengan yang lain tidak berhubungan. Terlihat dalam puisinya
[11]. Repetisi adalah pengulangan bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.
[12]. Simile atau Persamaan adalahperbandingan yang bersifat eksplisit, yaitu langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal lain.
[13]. Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda mati seolah-olah hidup.
[14]. Citraan adalah satuan ungkapan yang dapat menimbulkan hadirnya kesan keindrawian atau kesan mental tertentu.Unsur citraan dalam sebuah puisi merupakan unsur yang sangat penting dalam mengembangkan keutuhan puisi, sebab melaluinya kita menemukan atau dihadapkan pada sesuatu yang tampak konkret yang dapat membantu kita dalam menginterpretasikan dan menghayati sebuah puisi secara menyeluruh dan tuntas.
Citraan dalam puisi terdapat 7 jenis citraan, yaitu citraan penglihatan, citraan pendengaran, citraan gerak, citraan perabaan, citraan penciuman, citraan pencecapan, dan citraan suhu. Penggunaan citraan dalam puisi melibatkan hampir semua anggota tubuh kita, baik alat indra maupun anggota tubuh, seperti kepala, tangan, dan kaki. Untuk dapat menemukan sumber citraan yang terdapat dalam puisi, pembaca harus memahami puisi dengan melibatkan alat indra dan anggota tubuh untuk dapat menemukan kata-kata yang berkaitan dengan citraan.
[15]. Studi sastra bersifat semiotik adalah usaha untuk menganalisis sastra sebagai suatu sistem tanda-tanda dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai arti. Dengan melihat variasi-variasi di dalam struktur dalam atau hubungan dalamnya, akan dihasilkan bermacam-macam arti. Analisis semiotik itu tidak dapat dipisahkan dari analisis struktural, dan sebaliknya.Tugas semiotik puisi adalah membuat eksplisit asumsi-asumsi implisit yang menguasai produksi arti dalam puisi.

[16]. Secara etimologis hermeneutika berasal dari kata hermenenuein, bahasa Yunani, yang berarti menafsirkan atau menginterpretasikan. Secara mitologis, hermeneutika dikaitkan dengan Hermes, nama Dewa Yunani yang menyampaikan pesan Illahi kepada manusia. Pada dasarnya medium pesan adalah bahasa, baik lisan maupun bahasa tulisan. Jadi, penafsiran disampaikan lewat bahasa, bukan bahasa itu sendiri. Karya sastra perlu ditafsirkan sebab di satu pihak karya sastra terdiri atas bahasa, di pihak lain, didalam bahasa sangat banyak makna yang tersembunyi, atau dengan sengaja disembunyikan.
Dalam karya sastra, hermeneutik dipakai untuk menginterpretasi sebuah teks supaya dapat dipahami, Gadamer mengatakan bahwa untuk memahami karya sastra diperlukan tiga tahapan, yaitu kemengertian, interpretasi, dan aplikasi. Pada karya sastra, interpretasi diperlukan dalam  penafsirkan makna dan pemahaman terhadap teks.
[17]. terutama megenai tiga varian hermeneutika seperti yang dikemukakan Lefevere (hermeneutika tradisional, dialektik, dan ontologis).
[18]. Untuk itu, jika kita menerima hermeneutika sebagai sebuah teori interpretasi reflektif, hermenetuika fenomenologis merupakan sebuah teori interpretasi reflektif yang didasarkan pada perkiraan filosofis fenomenologis. Dasar dari hermeneutika fenomenologis adalah mempertanyakan hubungan subjek-objek dan dari pertanyaan inilah dapat diamati bahwa ide dari objektivitas perkiraan merupakan sebuah hubungan yang mencakup objek yang tersembunyi. Hubungan ini bersifat mendasar dan fundamental (being-in-the-world).
[19]. Jika dicermati, pernyataan Ricoeur tersebut tampak mengarah pada suatu pandangan bahwa interpretasi itu pada dasrnya untuk mengeksplikasi jenis being-in-the-world (Dasein) yang terungkap dalam dan melalui teks.Ia juga menegaskan bahwa pemahaman yang paling baik akan terjadi manakala interpreter berdiri pada self-understanding. Bagi Ricoeur, membaca sastra melibatkan pembaca dalam aktivitas refigurasi dunia, dan sebagai konsekuensi dari aktivitas ini, berbagai pertanyaan moral, filosofis, dan estetis tentang dunia tindakan menjadi pertanyaan yang harus dijawab.


[20]. Saya menyebut Sang Baik itu ialah Tuhan.
[21]. Mungkin saya akan menganalisisnya dengan sederhana, tidak terlalu mendalam. Hal ini dikarenakan, cap Atheis masih menyelimuti saya.
[22]. Lagu The Spirit Carries On- Dream Teather.
Artinya kurang lebih seperti ini :
Darimanakah kita berasal?
Mengapa kita ada di sini?
Kemanakah kita pergi setelah mati?
Apa yang ada diluar diri kita?
Apa yang ada sebelumnya?
Sesuatu yang berada dalam hidup.
[23]. Terlihat bahwa Nietzsche sangat mengagungkan raganya, ketimbang jiwanya sendiri. Apabila ditarik ke puisi tersebut, jiwa-jiwa di sini ialah matahari, pohon-pohon, senja, dan lain-lain.
Tulisan Berikutnya
Tinggalkan Komentar

4 Komentar

  1. analisa yang mengagumkan,
    bisa ajari saya menganalisa seperti anda ?
    saya juga sangat suka sastra, mohon bimbingannya
  1. Analisis “Tentang Fatia” Karya Hamdi Sign « Tak Salah Kaprah

Tinggalkan Balasan

Ikuti

Get every new post delivered to your Inbox.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar