Minggu, 22 Desember 2013

Proposal Penelitian Sastra

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Karya sastra pada dasarnya berisi tentang permasalahan yang melingkupi kehidupan sosial. Setiap bangsa atau suku bangsa memiliki kehidupan sosial yang berbeda dengan suku bangsa lain. Demikian pula suku muna yang memiliki kehidupan sosial khas terutama dalam sistem atau metode budayanya. Sastra terlahir atas hasil karya perilaku manusia dalam kebudayaan yang beranekaragam suku, ras, agama, dan tradisi yang berbeda-beda. Keanekaragaman tersebut memiliki ciri khas tersendiri dan hal itu memberikan pemasalahan dengan pemahaman serta tanggapan yang berbeda-beda.
Cerita rakyat merupakan prosa lama berupa tradisi lisan. Dalam bahasa sehari-hari cerita rakyat lebih dikenal masyarakat sebagai dongeng. Dongeng ini, hidup dan berkembang dalam masyarakat tertentu, tetapi tidak pernah diketahui siapa pengarangnya. Sebagai genre sastra lisan, cerita rakyat memiliki manfaat yang banyak bagi masyarakat pendukungnya. Di dalamnya terkandung nilai-nilai pendidikan maupun nilai-nilai moral yang bermanfaat.
Dalam kehidupan anak-anak, cerita rakyat sering kali menjadi kisah yang sangat menarik bagi sang anak  sehingga menjadi senjata paling ampuh bagi sang ibu untuk menidurkan anaknya. Tanpa disadari, sebenarnya cerita rakyat yang didengar secara tidak langsung akan membentuk sikap dan moral sang anak. Ajaran atau kandungan moral dalam cerita rakyat,  akan membentuk sang anak manjadi patuh terhadap kedua orang tuanya. Anak-anak akan merasa takut menjadi durhaka karena teringat hukuman atau balasan yang diterima sang anak dalam cerita-cerita jika durhaka terhadap orang tuanya. Dengan demikian cerita rakyat tidak hanya sebagai cerita pengantar tidur akan tetapi dapat membentuk moral anak-anak.
B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam kajian ini adalah “Bagaimana nilai kehidupan dalam cerita rakyat asal mula burung Ntaapo-apo?

C.    Tujuan Penelitian
Tujuan dari tulisan ini adalah mendeskripsikan nilai-nilai kehidupan dalam cerita rakyat asal mula burung Ntaapo-apo berasal dari daerah Muna.

D.    Definisi Operasional
Di dalam perkembangan  zaman dan teknologi sekarang ini, bertambahnya pengetahuan dan berubahnya gaya hidup  masyarakat berpengaruh pada sastra dunia. Banyak bermunculan sastra-sastra modern dengan asas kebebasan yang sering kali mengabaikan jati diri bangsa. Bersamaan itu pula folklore dalam hal ini cerita rakyat semakin ditinggalkan dan dilupakan oleh masyarakat. Cerita rakyat sebagai salah satu hiburan dalam masyarakat tampaknya tenggelam oleh cerita sinetron dan sejenisnya yang disuguhkan di televisi. Salah satu alasannya karena sinetron lebih nyata alurnya sehingga mudah dipahami dan dinikmati. Padahal cerita rakyat merupakan tradisi budaya yang memegang nilai-nilai luhur. Di dalamnya terdapat ajaran moral yang bermanfaat bagi generasi penerus untuk menjaga sifat-sifat budaya bangsa yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.






BAB II
KAJIAN TEORI
A.    Pengertian Nilai
Purwadarminta menjelaskan bahwa nilai adalah kadar isi yang memiliki sifat-sifat atau hal-hal penting yang berguna bagi kemanusiaan (Yunus, dkk., 1990:104). Nilai adalah sesuatu yang penting atau hal-hal yang bermanfaat bagi manusia atau kemanusiaan yang menjadi sumber ukuran dalam sebuah karya sastra. Nilai adalah ide-ide yang menggambarkan serta membentuk suatu cara dalam sistem masyarakat sosial yang merupakan rantai penghubung secara terus-menerus dari kehidupan generasi terdahulu.
 Secara umum karya sastra mengungkapkan sisi kehidupan manusia dengan segala macam perilakunya dalam bermasyarakat. Kehidupan tersebut diungkapkan dengan menggambarkan nilai-nilai terhadap perilaku manusia dalam sebuah karya. Olehnya itu, sebuah karya sastra selain sebagai pengungkapan estetikan, di sisi lain juga berusaha memberi nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehidupan.
 Penjabaran nilai dalam karya sastra oleh banyak ahli sangatlah beragam. Mengenai hal itu, Wahid mengemukakan bahwa seorang penulis tidak mengkin mengelakkan diri dari pengunaan beberapa ide tentang nilai ( Wahid, 2005:35). Sehubungan dengan pengelompokan nilai, Najib menjelaskan bahwa secara garis besar nilai-nilai kehidupan yang ada dalam karya sastra terdiri atas tiga golongan besar yaitu (1) nilai keagamaan, (2) nilai social (3) nilai moral. Selanjutnya, nilai-nilai tersebut masih dapat dikelompokan dalam bentuk yang kecil, yaitu nilai agama terdiri atas nilai tauhid, nilai pengetahuan, nilai penyerahan diri kepada takdir. Nilai sosial terdiri atas nilai gotong-royong, musyawarah, kepatuhan, kesetiaan dan keikhlasan. Dan nilai moral terdiri atas nilai kejujuran, nilai kesopanan, ketabahan, dan menuntut malu atau harga diri (Zahafudin, 1996:22).

1)    Nilai Keagamaan
Sastra dengan agama mempunyai hubungan yang sangat erat. Banyak karya sastra menjadi jalan atau sarana penyampaian nilai-nilai keagamaan. Dalam pembicaraan mengenai hubungan sastra dan agama, Mangun Wijaya lebih cenderung mengunakan istilah religius dan religiusitas daripada istilah agama dan religi. Agama lebih menitiberatkan pada kelembagaan yang mengatur tata cara penyembahan manusia kepada penciptanya, sedangkan religiusitas lebih menekankan kualitas manusia beragama (Yunus, dkk,.1990:106)
Sehubungan dengan fungsi sastra dengan pengungkapan nilai keagamaan. Mural Esten berpendapat bahwa ada tiga corak yang dapat kita lihat dalam sastra dalam hubungannya dengan keagamaan, yakni mempersoalkan praktek ajaran agama, sastra mencipta dan mengungkapkan masalah tertentu berdasarkan ajaran-ajaran agama dan kehidupan agama hanya sebagai latar belakangnya (Yunus, dkk., 1990:106)
Bertolak dari uraian  yang dikemukakan diatas, yang dimaksud dengan nilai keagamaan dalam pembahasan ini adalah konsep tentang penghargaan tertinggi yang dilaksanakan atau yang diberikan masyarakat kepada yang bersifat suci yang menjadi pedoman bagi tingkah laku keagamaan warga masyarakat yang bersangkutan.

2)    Nilai Sosial
Manusia adalah mahluk sosial. Sebagai mahluk social, manusia tidak dapat bertahan hidup tanpa bantuan dan dukungan dari orang lain. Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia senantiasa berinteraksi dan bekerja sama dengan manusia lainnya dalam berbagai aktifitasnya.
Nilai sosial adalah sosial budaya yang menjadi ukuran  atau penilaian pantas atau tidaknya suatu keinginan dan kebutuhan dilakukan. Nilai ini memperlihatkan sejauh mana seseorang individu dalam masyarakat mengikat diri dalam kelompoknya. Satu individu selalu berhubungan dengan individu lain sebagai anggota masyarakat (Yunus, dkk., 1990:114)

3)    Nilai Moral
Moral membahas tentang ajaran baik buruknya suatu perbuatan atau kelakuan manusia terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang lain. Dengan demikian nilai moral menyangkut nilai hubungan manusia dengan manusia dan nilai hubungan manusia  dengan dirinya sendiri.
 Nilai moral adalah nilai kesusilaan yang dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan salah. Dalam hal ini mengenai sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, dan susila (Purna, 1993:4)

B.    Pengertian Cerita Rakyat

Cerita rakyat adalah cerita yang hidup ditengah-tengah masyarakat dan berkembang dari mulut ke mulut. Dalam folklore, cerita rakyat merupakan bentuk folklor lisan yaitu cerita yang disampaikan secara lisan oleh pencerita. Wirjosudarmo (Isnan, 2003:11) mengatakan bahwa cerita pelipur lara adalah cerita yang member hiburan kepada orang yang mendengarkan dan diungkapkan oleh ahli cerita yang disebut pelipur lara.

C.    Ciri-Ciri Cerita Rakyat
Ciri-ciri cerita rakyat antara lain :
    Disampaikan secara lisan. Salah satu sifat cerita rakyat yang utama terletak pada cara penyampaianya. Pada lazimnya cerita rakyat disampaikan melalui tuturan. Ia dituturkan secara individu kepada seorang individu atau sekelompok individu.
    Sering kali mengalami perubahan. Cerita rakyat merupakan suatu yang dinamik, dimana ia akan mengalami perubahan seperti penambahan atau pengurangan, menurut peredaraan waktu. Oleh karena itu, kita menjumpai berbagai variasi untuk cerita rakyat di tempat yang berlainan.
    Merupakan kepunyaan bersama. Soal hak cipta tidak ada pada  cerita rakyat. Tak seorang pun yang mengaku sebagai pengarang cerita rakyat tertentu sehingga cerita rakyat bersifat anomim.
    Sering memiliki unsur irama. Cerita pelipur lara senantiasa disampaiakan pencerita senantiasa mengandung unsur irama yang menarik. Pengaturan ini agar cerita lebih menghibur juga untuk memudahkan penceritaanya.

D.    Fungsi Cerita Rakyat
Menurut Bascom (Sikki, dkk. 1985:13) mengemukakan fungsi cerita rakyat pada umumnya sebagai berikut :
    Cerita rakyat mencerminkan angan-angan kolompok. Peristiwa yang diungkap oleh cerita rakyat tidak benar-benar terjadi dalam kenyataan sehari-hari, tetapi merupakan proyeksi dari angan-angan atau impian rakyat jelata.
    Cerita rakyat digunakan untuk mengesahkan dan menguatkan suatu adat kebiasaan pranata-pranata yang merupakan lembaga kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.
    Cerita rakyat dapat berfungsi sebagai lembaga pendidikan budi pekerti kepada anak-anak atau tuntutan dalam hidup.
    Cerita rakyat berfungsi sebagai pengendalian sosial atau alat pengawasan, agar norma-norma masyarakat dapat dipenuhi.

Jadi, cerita rakyat selain berfungsi sebagai bagian dari sejarah, juga berfungsi menanamkan nilai-nilai moral, etika, dan religius terhadap masyarakat, generasi-generasi penerusnya dimana tempat cerita itu tumbuh dan berkembang.
























BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.    Metode Penelitian
Metode yang di gunakan penelitian kualitatif dikatakan deskriptif karena dalam penelitian ini penulis mendeskriptifkan data yang di analisis yaitu cerita rakyat yang berjudul Asal Mula Burung Ntaapo-apo berasal dari daerah Muna.

B.    Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang di gunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah tehnik baca catat, yaitu ; data di peroleh dari hasil membaca dan mencatat informasi yang sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini.
Penelitian ini akan di analisis dengan menggunaksan pendekatan struktural artinya karya sastra dalam hal ini adalah puisi yang di kaji berdasarrkan strukturnya.

C.    Data dan Sumber Data
    Data
Data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah data tertulis berupa cerita rakyat Asal Mula Burung Ntaapo-apo yang berasal dari daerah Muna.
    Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam analisis ini adalah:
Teks atau dokukumen, yang terdiri dari:
    Artikel yang bersumber: 
http://Analisis unsur intrinsik dengan pendekatan struktural _ Bahasa dan Sastra Indonesia.html
    Naskah Cerpen:
http// dongeng/286-Asal-Mula-Burung-Ntaapo-Apo.html


D.    Analisis Data
    Dongeng Dalam Bahasa Muna
Asal Mula Burung Ntaapo-Apo
Asal : Muna, Sulawesi Tenggara
Nando  wawono, nando  semie  bhirinanda  bhe  anano  moghane  neano La Ane. Mieno lambuno nomatemo maka La Ane nando norubu. Kadadihando bhirinanda aini degalu maka mina nabhala siaghe. Galundo dotisane mafusau bhe kahitelano sokafumahaando sesegholeo, mieno lambuno  norusaanda  seghulu  adhara  moghane.
Bhirinanda aini noasiane sepaliha anano( La Ane ). Bhirinanda aini nopiara La Ane sampe nobhala melangke. Nobhalamo La Ane ini minamo  nabantu inano nokaradha. Notanda nowanu sampe noodo tora, karadhanomo  nopokalalambugho  kawu  hule  bhe  sabhangkahino. La Ane  nosuli welambu La Ane nogharomo.Ane nowehimo nokalamo tora  nopokalalambugho  hule.
Inano mina namasiane noghoghondo diuno anano sesegholeo  potubhari kamalsi. Nobharimo pakuno nobhasie nakumala wegalu maka La Ane  nokidohi kansuru.
“sohae  dakumaradha  sesegholeo  nemabali  kawu dowule ane ina”  amba La Ane.
“o La Ane daomagho hae ane pada kumaradha”  ambano inano.
“ihintu  kawu  sokumaradhano  ina. Inodi  asiane  apokalalambugho  hule  bhe sabhangkahiku  rampahano  mina  amindalo  aegalu” amba La Ane.
“ane  peda  anagha  fumamo  hulemu  itu” ambano inano (nolea lalono we La Ane).
La Ane mina nametingke noforatoe inano. La Ane nokala norunsa  lambudo maka nokala welambuno sabhangkahino. Inano nando noghosa  lalono  maka nando nefontanta  kafuma  wemedha  kafumaha. Maka  soano  ghoti  bhe  kahitela  kadanda,maka ohule  nobhebherae  fekarubuhie  nembali  kafontantaano  notei  nekasopa. Rabutano  ohule  nobhebherae  dua  maka  noteie  welo  kaghua.
“huh....  fuma  hule  bhe  talino itu, anahi  kamalasi” ambano inano.
Bhirinanda aini nokalamo wegalu. Nopana kawu gholeo La Ane  nosulimo welambu   rampahano  nogharo, bheno  koghenduhi  La Ane  nowura okasopa bhe kaghuano teawono medha  ihino  kabhebherano  huleno  bhe  talino.
“oh... inaaa, omamara   sepaliha   we   inodi ? hamai  kagharoku   ini” La Ane nofekiri  lalono.
Bhe kabhelano lalo, La Ane nofoni teawono ghahuno lambundo. Norato teawono  ghahu  La Ane  nofekirimo  lalono  bhe  notongo.
“inaku  minamo  namasikanau, madaho  aembali  manu-manu  maka ahumoro akumala  newatu  bhe  naini  aekapihi  kafuma”  amba La Ane.
Wamba La Ane gara nokotughu,padakawu nobisara,gara  kosighuluhae notumbughie  wulu   kowaranaano  bhe  nokongkilahi. mina  naompona La Ane notibhaliimoo nembali seghulu  manu-manu.  Manu - manu  aini  nofonimo  teghato bheno  folimba  suara  mokoadhono.
Norato  kawu  norondo  gholeo, inano  nosulimo  nomaigho  wegalu,maka notalamo  anano  ini (La Ane).
“La  Ane... La Ane... nehamaiko”  notola  La Ane.
Nobharimo kawu pakuno notola, maka La Ane  mina  nabhalo-bhaloa. inano notehimo,  bheno  limbamo  weluarano  lambuno, nowuramo  seghulu  manu-manu teawono  ghato  bhe  nelagu-lagu  karadhaano.
Bhirinanda  aini  nomaho  nopingsan  rampahano  nowura  manu-manu  haligho nopoto  bhe  anano.
“oh ana  moghaneku, aesalo  maafu,  sampumo  naini” nobhasie inano.
Oghoti  nembalimo  sosolu,  La Ane  nembalimo  seghulu  manu-manu  maka paemo  tora  nasumuli  naembali  omie. La Ane  naembalimo  manu-manu  hingka surudhamani. Inano  notolamo  manu-manu, tamaka  manu-manu  minamo nametingke. Omanu-manu  nohoromo  bhe  nopingka  teawono  pughuno  bhea.
Inano  mina  nametumpu  notola  anano. Maka  manu-manu  aini  nokidohimo nasumuli. Manu-manu  aini  nohoro  noghulu  welokaruku  motugha  nekapihi  kafumaano. Inano  mina  naeafa-afa,  ampam  kawu  nososo  bhe  karabuhano  diunu neanano  semieno  ini.
Notanda  kadhadhia  anagha,  omanu-manu  kowambaghoono ”ntaapo-apo”  anagha  dokonaemo  manu-manu  ntaapo-apo. Mahingka  ampahiaitu  manu-manu mahuno pototono  bhe  cendrawasih  anagha  nando  notifetingke  ngauno  welokaruku we  muna,  sulawesi tenggara.

    Terjemahan dalam Bahasa Indonesia
Asal Mula Burung Ntaapo-Apo
Asal : Muna, Sulawesi Tenggara
Selama ini orang mengira burung cenderwasih hanya ada di Papua. Tapi, tahukah Anda bahwa burung jenis ini ternyata juga terdapat di Sulawesi Tenggara, tepatnya di Kabupaten Muna? Masyarakat di sana menyebutnya dengan nama burung Ntaapo-apo. Menurut cerita, burung ini merupakan penjelmaan seorang anak laki-laki yang bernama La Ane. Bagaimana La Ane bisa menjelma menjadi burung Ntaapo-Apo? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Burung Ntaapo-Apo berikut ini!
< ===== >
Dahulu kala, hiduplah seorang janda bersama seorang anak laki-lakinya bernama La Ane. Suaminya meninggal dunia saat La Ane masih bayi. . Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, janda itu mengolah kebun yang luasnya tidak seberapa. Kebun itu ia tanami ubi dan jagung untuk dimakan sehari-hari. Selain kebun, sang suami juga mewariskan seekor kuda jantan.
    Janda itu amat sayang kepada La Ane. Ia merawatnya dengan penuh kasih sayang hingga tumbuh menjadi besar. Namun, La Ane yang telah menginjak usia remaja itu tidak pernah membantu ibunya bekerja. Dari bangun hingga tidur lagi, kerjanya hanya bermain gasing bersama teman-temannya. Ia baru pulang ke rumah jika perutnya sudah lapar. Tapi, setelah kenyang, ia kembali bermain gasing.
Sang ibu mulai tidak senang melihat kelakuan anaknya yang semakin hari semakin malas. Ia sudah berkali-kali mengajaknya pergi ke kebun, namun La Ane selalu menolak.
“Buat apa bekerja setiap hari. Capek, Bu,” begitu selalu kata La Ane.
“Anakku, kita mau makan apa kalau tidak bekerja?” ujar ibunya.
“Ibu saja yang bekerja. Aku lebih senang bermain gasing bersama teman-temanku daripada ikut bekerja di kebun,” kata La Ane dengan cuek.
“Kalau begitu, makan saja itu gasingmu!” tukas ibunya dengan nada kesal.
La Ane tetap saja tidak peduli pada nasehat ibunya. Ia pergi meninggalkan rumah menuju ke rumah teman-temannya. Sang ibu yang masih kesal sedang menyiapkan makanan di meja makan. Namun, bukannya nasi dan jagung rebus yang disiapkan, melainkan gasing yang dipotong kecil-kecil lalu ditempatkan di dalam kasopa (tempat jagung dan ubi). Tali gasing itu juga dipotong-potong lalu ditaruh di dalam kaghua (tempat sayur atau ikan).
“Huh, makanlah gasing dan talinya itu, anak malas!” geram sang ibu.
Janda itu kemudian pergi ke kebun. Menjelang siang hari, La Ane pun kembali dari bermain karena lapar. Alangkah terkejutnya ia setelah melihat kasopa dan kaghua di atas meja yang berisi potongan-potongan gasing dan talinya.
“Oh, Ibu. Engkau benar-benar marah kepadaku? Padahal, aku lapar sekali,” keluh La Ane.
Dengan perasaan sedih, La Ane naik ke atas loteng rumahnya. Di atas loteng itu ia duduk termenung sambil memikirkan nasibnya.
“Ibu sudah tidak sayang lagi kepadaku. Lebih baik menjadi burung saja sehingga aku bisa terbang ke sana ke mari mencari makan sendiri,” ucap La Ane.
Ucapan La Ane rupanya menjadi kenyataan. Begitu ia selesai berucap, tiba-tiba sekujur tubuhnya perlahan-lahan ditumbuhi bulu berwarna-warni yang indah dan berkilauan. Selang beberapa saat kemudian, anak pemalas itu pun berubah menjadi seekor burung. Ia kemudian hinggap di atap rumahnya sambil berkicau dengan merdu.
Saat hari menjelang sore, sang Ibu kembali dari kebun. Ia pun memanggil-manggil anaknya.
“La Ane… La Ane…, kamu di mana anakku?!” teriaknya.
Sudah berkali-kali ibu itu berteriak, namun tak ada jawaban. Dengan panik, ia segera keluar dari rumah. Ketika berada di depan rumah, ia pun melihat seekor burung bertengger di atap rumah sambil bernyanyi merdu. Janda itu hampir pingsan melihat pada burung itu masih memperlihatkan tanda-tanda anaknya.
“Oh, anakku, maafkan Ibu. Turunlah, Nak!” bujuk sang Ibu.
Nasi sudah menjadi bubur. La Ane yang telah menjelma menjadi burung itu tidak mungkin lagi berubah menjadi manusia. Ia akan menjadi burung untuk selama-lamanya. Ketika ibunya berteriak memanggilnya, ia sudah tidak mendengarnya lagi. Ia terbang dan hinggap di atas pohon pinang sambil berkicau.
Sang ibu tak henti-hentinya memanggil anaknya. Namun, burung itu tetap tidak mau kembali. Ia terbang menuju ke hutan belantara untuk mencari makan. Sang ibu pun tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menyesal atas perlakuannya terhadap anak semata wayangnya itu.
Sejak peristiwa itu, burung yang suka berkicau “ntaapo-apo” itu dinamakan burung Ntaapo-apo. Hingga saat ini, burung yang mirip dengan burung cenderawasih itu masih sering terdengar kicauannya dari dalam hutan di daerah Muna, Sulawesi Tenggara.


    Berdasarkan hasil analisis, pemaparan nilai-nilai cerita rakyat tula-tula Saidhi Rabba dapat dijabarkan sebagai berikut :
    Nilai Keagamaan
Nilai keagamaan dalam cerita rakyat Asal Mula Burung Ntaapo-apo
Agama merupakan wadah yang komplit dalam meningkatkan iman dan takwa manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa. Manusia di hadapan Tuhan adalah sama, yang membedakannya adalah tingkat keimanan dan ketakwaanya terhada Tuhan. Iman yang kuat menjadikan manusia mampu mengendalikan diri dari masalah-masalah. Tuntunan keimanan dan ketakwan itu menjadikan manusia mengabdikan dirinya terhadap agama yang diyakininya. Cara itu akan mempertebal keimanan seseorang dalam mendekatkan diri pada sang pencipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar